Friday, March 27, 2009

Studi Surat Makiyah dan Surat Madaniyah dalam Kitab Al-Itqon

Prolog

Dalam bingkai studi ulumul Quran, pembahasan surat-surat makkiyah dan madaniyah merupakan suatu kelaziman. Hampir di setiap buku-buku bernuansa ulumul Quran terdapat pembahasan tersebut (surat-surat makkiyah dan madaniyah), seperti buku al-Itqon karya Imam Jalaluddin as-Suyuthi, buku Manahil al-‘Irfan karya Imam Az-Zarqoni, buku al-Burhan karya Imam Badruddin az-Zarkasyi, buku madkhol ila al-qurani al-karimi karya Dr. Muhammad Abid Jabiri. Bahkan Banyak para pakar ulumul quran mengarang kitab khusus membahas surat-surat makkiyah dan surat-surat madaniyah, seperti Imam Maki dan al-'Izzu ad-Diroyni. Oleh sebab itu, sekilas kita dapat membaca urgensi pembahasan surat makkiyah dan surat madaniyah dalam memahami al-Quran yang disifati sebagai kitab petunjuk bagi umat manusia.

Sebelum lebih banyak membincang tentang studi surat makkiyah dan madaniyah, saya ingin terlebih dahulu membahas sekilas biografi pengarang kitab al-Itqon; Imam Jalaluddin as-Suyuthi. Sebagai langkah awal dan pengantar membedah salah satu karangan master pisnya; kitab al-Itqon.

Biografi Singkat Imam Suyuthi

Biografi ulama beken asal Mesir ini tidak sulit ditemukan. Hampir setiap karya Suyuti menyertakan biografinya. Bahkan Suyuthi menulis biografi dirinya, perjalanan intelektualitasnya, guru-guru serta karangannya dalam muqoddimah kitabnya Husnu al-Muhadhoroti fi tarikhi al-Mashri wa al-Qohiroti.

Nama lengkap Imam Suytui adalah Jalaluddin Abdurrahman bin al-Kammal Abu Bakar Muhammad bin Sabiquddin bin al-Fakhru ‘Utsman bin Fakhiruddin bin Muhammad bin Saepuddin khudhor bin Najmuddin bin Sholah Ayyub bin Nashiruddin muhammad bin Syeikh Hamamuddin al-Hammam al-Khudoiry as-Suyuthi asy-Syafi'i. Keluarga Imam Suyuthi bukan asli Mesir, tetapi berasal dari Khudor, sebuah tempat yang terletak di timur Baghdad (Persia). Ada yang mengatakan keluarganya a'jam (non arab) yang tinggal di wilayah arab.

Suyuthi lahir setelah maghrib pada malam Ahad, bulan rajab tahun 849 H di provinsa as-Suyuth Mesir. Keluarga besar Suyuti adalah keluarga berilmu pengetahuan. Kakek buyutnya syeikh Hamamuddin al-Hammam adalah seorang sufi, dan salah seorang syeikh sebuah tarekat. Konon kecintaan Suyuthi pada tasawuf dipengaruhi oleh kakek buyutnya ini. Ayahnya yang dkenal dengan sebutan Kamaluddin (al-Kammal) sebagaimana pujian anaknya sendiri (Imam Suyuthi) dalam muqoddimah kitabnya al-Itqon, adalah seorang pakar yang menguasai berbagai bidang ilmu. Beliau meninggal ketika Suyuthi berumur enam tahun, ada yang mengatakan ketika ia berumur lima tahun delapan bulan.

Suyuti sudah dapat menghapal al-Quran ketika umurnya di bawah 8 tahun. Ia juga hapal kitab al-'umdah, minhaju al-Fiqh wa al-ushul, dan alfiyah ibnu malik. Suyuti secara intens menceburkan diri berpeluk rapat dengan ilmu-ilmu agama ketika umurnya enam belas tahun, yaitu pada tahun 865 H. Mulai menulis kitab pada tahun 866 H, ketika umurnya tujuh belas tahun. Dengan karya perdananya 'Tafsir al-Isti'adati wa al-Basmalatiy' yang dikatapengantari oleh gurunya sendiri al-Bulqini. Dan mulai memberikan fatwa ketika umurnya 22 tahun.

Seorang imam pengikut ahlu sunnah waljama'ah ini banyak berkelana menjelajahi kota-kota dalam negeri, seperti Fayyum, Iskandariyah dan Dimyat, serta menjelajahi negara-negara yang ada di belahan dunia, seperti Hijaz, Syam (Suriah), Yaman, Maroko dan Takrur untuk menuntut ilmu Allah dari ulama-ulama kota dan negara tersebut. Suyuti menimba ilmu Faroidh dari seorang pakar ilmu Faroid saat itu syeikh Syihabuddin asy-Syarimsahi. mempelajari ilmu fikih dari 'alamuddin al-Bulkini. Setelah al-Bulkini meninggal, Suyuti melanjutkan pembelajarannya kepada anaknya. darinya Suyuti mempelajari kitab at-tadrib, kitab al-hawi as-shogir, kitab al-manhaj, kitab at-tanbih dan kitab takammulah syarh al-manhaj karya imam az-Zarkasyi. Belajar ilmu tafsir dari syeikh Syarifuddin al-Manawi. Mengambil ilmu hadits dan ilmu bahasa Arab dari syeikh Imam Takiyuddin as-Syibliy al-Hanafiy. Juga mempelajari beberapa fan ilmu; ilmu tafsir, ilmu Ushul Fikih, ilmu bahasa arab, ilmu ma'ani dan sebagainya dari syeikh Muhyiddin al-Kafijiy. Ia juga pernah menghadiri pengajian kitab al-Kasyaf, kitab at-Taudhih, kitab talkhishu al-miftah dan kitab al-'Adhdu yang diajar oleh Syeikh Saefuddin al-hanafiy.

Setelah banyak berkutat dengan dunia luar, berkelana dari kota ke kota, dari negara ke negara mencari ilmu Allah kepada ulama-ulama semasanya. Berdinamika seperti ulama-ulama lainnya menyebarkan agama Allah. Suyuti kemudian mengambil jalan baru, menyepi menyendiri di Roudhah, sebuah daerah dekat sungai Nil. Menulis buku-buku di sana. hingga ia menderita penyakit bengkak di tangan kirinya dan wafat pada malam jum'at 19 jumadil awal tahun 911 H.

Peninggalan Imam Suyuthi

Pentahkik kitab al-Itqon Ahmad bin Ali mengutip dari kitab imam Suyuthi sendiri; Husnu al-Muhadhoroh yang ditulis pada tahun 904 H, ketika Suyuthi mengarang kitab husnu al-Muhadhoroh, karya-karyanya sudah mencapai sekitar 300 buah. Ada yang mengatakan, kitab-kitab karya Imam Suyuthi berjumlah 600 buah. Sebagian yang lain ada yang mengira-ngira, kitab-kitab karangannya mencapai 400 lebih. Dan sebagian yang lain ada yang mentaksir, kitab-kitab karangannya berjumlah ratusan. Kitab-kitab karya Imam Suyuti amat variatif meliputi banyak bidang ilmu; ilmu Tafsir dan ‘ulum al-Quran, ilmu Hadits, ilmu Fikih, Bahasa Arab dan ilmunya, ilmu Balaghah, ilmu Sejarah, ilmu Adab, ilmu Tasawuf, ilmu Kedokteran dan ilmu Logika (Mantiq). Bahkan beliau pernah berkata, bahwa beliau bisa menulis semua permasalahan disertai dalil-dalil dan pendapat-pendapat para pakar dengan pertolongan Allah semata, bukan berdasar talenta dan kemampuan dirinya.

Buku-buku Suyuti dalam bidang Tafsir dan ‘ulum al-Quran; al-Itqon fi ulumi al-Quran, at-tahyir fi ‘ilmi at-Tafsiri, Tafsir Jalalayn, tanasuk ad-durari fi tanasubi as-suwari, ad-durru al-mantsuri fi tafsir bi al-ma’tsuri, thobaqotu al-mufassirin, lubabu an-nuqul fi asbabi an-nuzuli, mazma’ al-bahroyni wa mutholi’ al-badroyni fi at-tafsiri, mu’taroqo al-akroni fi musytaroki al-qur’ani, mafatihu al-ghaibi, dan al-muhhadzab fiyma waqo’a fi al-qur’ani min al-mu’arrobi.

Buku-bukunya dalam bidang Hadits; is’afu al-mubatho bi ar-rijali al-muwatho, tanwir al-hawaliki fi syarhi muwatho al-imam Malik, jam’u al-jawami’ atau al-jami’ al-kabir, al-jami’ as-shogir liahadits al-basyir an-nadzir, ad-duror al-munatsaroh fi al-ahadits al-musytaharoh, ad-dibaj ‘ala shohih Muslim bin Hajjaj, thobaqot al-Huffadz, ‘uqud az-Zabrojid ‘ala musnad al-Imam Ahmad, mirqotu as-su’ud ila sunan abi daud, dan mishbahu az-zujajah fi syarhi sunan ibnu majah.

Buku-bukunya dalam bidang fikih; al-azhar wa al-fidhoh fi fiqh ar-roudhah, al-asybah wa an-nazoir fi fiqh al-imam as-Syafi’i, tabiydhu as-shohifah fi manaqib Abi Hanifah, al-jami’ fi al-faroidh disebut juga dengan Hadiyatu al-‘arifin, al-hawi fi al-fatawa, al-fariq bayna al-munshib wa as-sarik yang disebut dengan Kasyfu adz-dzunun, miftahu al-jannah, fi al-i’tishomi bi as-sunnah, al-yadu al-bustho fi ta’yini as-sholati al-wustha, dan al-yanbu’ fiyma zada ‘ala ar-roudhoti min al-furu’i kedua duanya juga disebut kasyfu az-zunun.

Dalam bidang Bahasa Arab dan ilmunya: al-akhbar al-wadh’iyyah fi sababi wadh’i al-‘arobiyyah, al-asybah wa nazoir fi an-nahwi, al-alfadz al-mu’arrobah disebut juga dengan kitab al-a’lam, al-bahjatu al-mardhiyyah fi syarhi al-Fiyyah, at-taju fi i’robi musykili al-manhaji, at-tausihu ‘ala at-taudhihi disebut juga dengan kitab husnu al-muhadhoroti, jam’u al-jawami’, al-fathu al-qoribu, al-faridatu fi an-nahwi wa at-tashrifiy wa al-khothi, al-mazharu fi ulumi al-lughoti, al-muwasyatu fi ‘ilmi an-nahwi dan ham’u al-hawami’i fi syari jam’i al-jawami’.

Dalam bidang Ilmu Balaghah; syarhu ‘uqudi al-jumani fi ‘ilmi al-ma’ani wa al-bayani, an-nazmu al-badi’ fi madhi as-syafyi’ dan fathu al-Jalili li al-‘abdi adz-dzalili. Dalam bidang Sejarah dan Adab; al-arju fi ma’rifati al-farji, bahjatu an-nazhiri, wa najhatu al-khothiri, husnu al-muhadhoroti fi tarikhi mashi wa al-qohiroti, diywanu al-hayawani, al-kanzu al-madfunu wa al-falaku almasyhunu dan al-wasailu ila ma’rifati al-awaili. Dalam bidang Tasawuf; ta’yidu al-haqiqoti al-‘aliyati wa ta’kidu ath-thoriqotiy as-syadziliyati, tanbihu al-ghobiyi ila tabarruati ibni al-‘arobi, kitab ini juga disebut hadiyatu al-‘arifini, dan alma’aniy ad-daqiqotu fi idroki al-haqiqotiy, kitab ini juga disebut husnu al-muhadhorotiy. Dalam bidang kedokteran; mukhashoru at-thibi an-nabawiy. Dan dalam bidang logika (mantiq); al-Qowlu al-masyriqu fi tahrimi al-isytighali bi al-manthiqi.

Unsur Genetis Penulisan Kitab al-Itqon

Kitab al-Itqon ditulis sebagai muqoddimah kitab 'majma'u al-bahroyni wa mutholi' al-badroyni'. Sebuah kitab tafsir yang mengakomodasi tafsir-tafsir manqul, hasil-hasil istimbath, isyarat, i'rob, nakt balaghoh, dan sebagainya.

Kitab ini adalah hasil kodifikasi pendapat-pendapat para pakar di dalam kitab-kitab mereka. Boleh dibilang kitab-kitab tersebut adalah unsur genetik penulisan kitab al-Itqon. Dari kitab-kitab naql, Suyuti mengambil kitab tafsir ibnu Jarir at-Thobari, kitab tafsir ibnu Abi Hatim, kitab tafsir ibnu mardaweih, tafsir ibnu Hayyan, tafsir al-Hafidz Imaduddin bin katsir, kitab fadhoilu al-Quran karya Abu Abid, kitab fadhoilu al-Quran karya ibnu Dhuroys, fadhoilu al-Quran karya ibnu Abi Syaybah dan sebagainya.

Dari Kitab-kitab qiroat, Suyuti menyunting kitab Jamal al-Qurro karya as-Sakhowi, kitab an-nasyr wa at-taqrib karya al-Jazariy, kitab al-kamil karya al-Hudzliy, al-irsyad fi al-qiroati al-'asyari karya al-wasithi, kitab as-syawadz karya ibnu gholabun, kitab al-waqfu wa al-ibtida karya ibnu anbari, as-sajawandi, an-Nuhas, ad-daniy, a-'amaniy dan ibnu an-nakzawiy, kitab qurrotu al-'ayni fi al-fathi wa al-imalati bayna al-lafdzoyni karya ibnu al-qoshih.

Dari kitab bahasa, ghorib, bahasa arab dan i'rob, Suyuti mereduksi kitab mufrodat karya Roghib as-fahani, ghorib al-quran karya ibnu qutaibah dan karya al-'Azizi, al-wujuh wa an-nadzoir karya an-Naisaburi dan karya ibnu Abdu as-Shomad, al-wahidu wa al-jam'ufi al-qurani karya abu Hasan al-Ahfas al-Ausath, az-zahir karya ibnu al-Anbari, syarhu at-tashil wa al-irtisyaf karya Abu Hayan, al-mughni karya ibnu Hisyam dan sebagainya.

Dari kitab ahkam, Suyuti mengambil kitab ahkamu al-quran karya Ismail al-Qodhi, kitab ahkamu al-quran karya Bakar bin al-'Ala, kitab ahkamu al-Quran karya abu Bakar ar-Rozi, kitab ahkamu al-Quran karya Qiya al-Harosi, kitab ahkamu al-Quran karya ibnu al-'Arobi, kitab ahkamu al-Quran karya ibnu al-Faros, ahkamu al-quran karya Khuwaiz Mindad, kitab nasikh mansukh karya al-Maki, kitab nasikh mansukh karya ibnu Hishor, kitab nasikh mansukh karya as-Sa'idiy, kitab nasikh mansukh karya Abu Ja'fa an-Nuhas, kitab nasikh mansukh karya ibnu al-'Arobi, kitab nasikh mansukh karya Abu Daud as-Sajastani, kitab nasikh mansukh karya "ubaid al-Qosim bin Sallam, kitab nasikh mansukh karya Abu Mansur Abdul Qohir bin Thohir at-Tamimi dan al-Imam fi adillati al-ahkam karya syeikh 'Izzuddin bin Abdussalam.

Dari kitab-kitab yang yang menjelaskan kemu'jizatan al-Quran dan fan-fan balaghoh, Suyuti, banyak mengutip dari kitab i'jazu al-quran karya al-Khothobi, kitab i'jazu al-quran karyaar-Rummani, kitab i'jazu al-quran karya ibnu Suroqoh, kitab i'jazu al-quran karya Qodhi abu Bakar al-Baqilani, kitab i'jazu al-quran karya Abdul Qohir al-Jurjani, kitab i'jazu al-quran karya Imam Fakhruddin, kitab i'jazu al-quran karya ibnu abi al-'Ishba' dinamai juga kitab al-Burhan, kitab i'jazu al-quran karya az-Zamlakani juga dinamai al-Burhan, kemudian kitab ini diringkas dan dinamai kitab al-Mujid, majazu al-quran karya ibnu Abdussalam, al-iyjazu fi al-majazi karya ibnu Qoyyim, nihayatu at-ta'mili fi asrori at-tanzili karya az-Zamlakani dan sebagainya.

Dari kitab-kitab ar-rosm, Suyuti banyak menyerap kitab al-miqna' karya ad-Daniy, kitab syarhu ar-roiyati karya as-Sakhowi dan kitab syarh ar-roiyati karya ibnu Jubaroh. Dari kitab-kitab tafsir, Suyuti banyak mereduksi kitab al-Kasyaf dan hasyiyahnya karya ath-Thibiy, kitab tafsir imam Fakhruddin ar-Rozi, kitab tafsir al-Bahani, tafsir al-Hufiy, tafsir Abu Hayyan, tafsir ibnu 'athiyah, tasir al-qusyairy, tafsir al-mursiy, tafsir ibnu al-Jauzi, tafsir ibnu 'aqil dan sebagainya. Serta masih banyak lagi kitab-kitab yang direduksi oleh Suyuti dalam kitabnya al-Itqon.

Makkiyah dan Madaniyah

Mengenal Singkat Latar sosio kultural
dan sosio religius Mekkah Madinah


Latar sosio-kultural dan sosio-religius Mekkah dan Madinah yang dihadapi Nabi Muhammad saw jelas berbeda. Kota Mekkah dihuni oleh orang-orang arab yang memeluk varian agama dan berkeyakinan politeisme. Tetapi agama yang mendominasi di sana ketika itu adalah agama berhala (al-watsaniyah). hingga pada masa pembebasan kota Mekkah umat Islam menemukan terdapat 360 berhala di sana. ketetapan hati mereka terhadap agama peninggalan nenek moyang mengakar ke lubuk hati. Hingga ketika Nabi datang membawa ajaran tauhid. Reaksi mereka amat keras terhadap nabi dan pengikut-pengikut beliau. Mereka tidak menerima ajaran Islam bersanding dengan mereka, kendati Islam berprinsip la iqroha fi ad-dini (tidak ada paksaan untuk memeluk agama Islam). Para pemeluk ajaran Islam disiksa, seperti kasus Bilal bin Rabbah dan Ammar bin Yasir. Dalam kondisi politeisme katuhanan dan kekerasan masyarakat Mekkah inilah surat-surat makkiyah diturunkan. Hingga ayat-ayatnya kita lihat banyak menekankan ajaran tauhid untuk mengkounter keyakinan politeisme tersebut. Dan banyak menceritakan tentang azab-azab api neraka yang sudah Allah siapkan bagi mereka yang kafir kepada-Nya untuk menggedor hati mereka, di samping menceritakan kenikmatan surgawi bagi mereka yang beriman. Serta menceritakan kondisi umat-umat sebelum mereka yang mati mengerikan disebabkan kedurhakaan, ketidakpercayaan dan kedzaliman mereka kepada utusan-utusan Allah swt. sebagai tamtsil realistis yang patut dijadikan renungan.

Sedangkan kondisi ketika nabi di Madinah paska hijarah. Sudah banyak masyarakat arab yang mengimani risalah tauhid yang beliau bawa. Hingga ayat-ayat madaniyah banyak menggunakan khitob ya ayyuhalladzina amanu (hai orang-orang yang beriman) untuk menunjuk mereka yang beriman kepada kenabian Muhammad saw dan ketuhanan Allah swt. Serta banyak ayat-ayat yang menjelaskan kewajiban-kewajiban umat Islam untuk menjalankan syariat. Di samping itu terdapat tiga komunitas Yahudi di Madinah, bani Auz, bani Khuza'ah dan bani Khazraj. Banyak di antara mereka yang paham kitab Taurat (ahlul kitab). Hingga kita mendapati ayat-ayat al-Quran mengatur kehidupan masyarakat muslim dengan masyarakat non muslim; Yahudi. Seperti pelarangan wanita muslimah dengan laki-laki non muslim; Yahudi, serta halal pernikahan laki-laki muslim dengan wanita ahlul kitab.

Mengenal Makkiyah-Madaniyah Secara Definitif

Yang perlu kita garis bawahi, terma pembagian surat-surat/ayat-ayat makkiyah dan madaniyah merujuk pada sahabat dan tabi'in. Tidak ditemukan terma pemilahan makkiyah dan madaniyah dalam sabda-sabda nabi. Sebab nabi tidak dibebani perintah mendikotomi surat-surat/ayat-ayat ke dalam makkiyah dan madaniyah. Di samping Allah juga tidak memfardukan umat Islam mengetahui dikotomi makkiyah dan madaniyah. Abid Jabiri dalam bukunya madkhol ila al-qurani al-karimi menulis, perhatian ulama terhadap terma pemilahan surat makiyah madaniyah terjadi pada tahun 102 H, pada masa kodifikasi (tafsir al-Quran). Pandangan mereka pada masa itu mayoritas bersandar pada peristiwa-peristiwa atau simbol-simbol parsial yang saling bertentangan, tidak memberikan hasil yang melampaui dzon dan dugaan.

Secara eimologi jelas istilah makkiyah dan madaniyah dinisbahkan pada kota Mekah dan kota Madinah. Para pakar ulumul quran berbeda pandangan membatasi pengertian terminologi makkiyah dan madaniyah, yang terangkum dalam tiga pendapat. Yang pertama, makkiyah adalah surat/ayat al-Quran yang diturunkan kepada nabi sebelum beliau hijrah ke Madinah. Sedangkan madaniyah adalah surat/ayat al-Quran yang diturunkan kepada nabi setelah beliau hijrah. Yang menjadi titik tolak pengertian ini adalah Hijrah nabi. hingga surat-surat atau ayat-ayat yang diturunkan di Mekkah setelah beliau hijrah tergolong ke dalam surat atau ayat madaniyah. Dan surat atau ayat yang diturunkan di perjalanan menuju madinah tergolong ke dalam surat makkiyah. Pengertian pertama ini yang mashur dijadikan pengertian makiyah dan madaniyah oleh pakar ulumul quran. Yang kedua, makkiyah adalah surat/ayat al-Quran yang diturunkan di Mekkah meskipun setelah Hijrah. Sedangkan madaniyah adalah surat/ayat al-Quran yang diturunkan di Madinah. Yang menjadi patokan dalam pengertian ini adalah tempat diturunkannya al-Quran. Maka surat/ayat al-Quran yang diturunkan kepada nabi di perjalanan beliau, tidak termasuk surat makkiyah dan tidak termasuk madaniyah. Yang ketiga, makkiyah adalah surat/ayat al-Quran yang objeknya adalah masyarakat Mekkah. Sedangkan madaniyah adalah surat/ayat al-Quran yang objeknya masyarakat Madinah. Yang menjadi patokan dalam pengertian ini adalah objek yang dikenai al-Quran.

Mengenal Makkiyah – Madaniyah Lebih Dekat

Imam Suyuti menyunting pendapat-pendapat para pakar ulumul quran tentang surat-surat makiyah dan madaniyah yang semuanya dinisbahkan pada sahabat dan tabi'in, seperti pendapat al-Baihaki dalam kitabnya dalailu an-nubuwati, pendapat ibnu ad-Dhurois dalam kitabnya fadhoilu al-qurani, pendapat Abu Abid dalam kitabnya fadhoilu al-qurani, pendapat abu Bakar al-Anbari dan pendapat abu Hasan bin al-Hishor dalam kitabnya an-nasikh wa al-mansukh. Abu Hasan berpendapat, surat-surat yang telah disepakati kemadaniahannya berjumlah 20 (dua puluh) surat, yaitu surat al-baqoroh, al-imron, an-nisa, al-maidah, al-anfal, at-taubah, an-nur, al-ahzab, muhammad, al-fath, al-hujurot, al-hadid, al-mujadalah, al-hasyr, al-mumtahanah, al-jum'ah, al-munafiqun, ath-tholaq, at-tahrim dan an-nashr. Surat-surat yang diperdebatkan kemakiahan dan kemadaniahannya berjumlah 12 (dua belas) surat, yaitu surat al-fatihah, ar-ro'd, ar-rohman, as-shof, at-taghobun, at-tathfif, al-qodr, lam yakun, idza zuzlzilat, al-ikhlash, al-ma'udzatayn. Dan sisanya adalah surat-surat yang disepakati kemakiahannya berjumlah 82 surat.

Imam Suyuthi menyebutkan 32 (tiga puluh satu) surat yang diperdebatkan kemakiahan dan kemadaniahannya, yaitu surat al-fatihah, an-nisa, yunus, ar-ro'd, al-hajj, al-furqon, yasin, shad, muhammad, al-hujurot, ar-rohman, al-hadid, as-shaf, al-jumu'ah, at-taghobun, al-mulk, al-insan, al-muthofifin, al-a'la, al-fajr, al-balad, al-layl, al-qodar, lam yakun, az-zalzalah, al-'adiyat, al-hakum, aroayta, al-kautsar, al-ikhlash dan al-ma'udzatan.

Beberapa Model perbedaan pendapat seputar kemakiahan dan kemadaniahan surat-surat di atas, sebagai berikut;
1. surat al-Fatihah. Mayoritas ulama sepakat bahwa surat al-fatihah adalah surat makkiyah. Bahkan ada riwayat yang menjelaskan surat al-fatihah termasuk surat-surat awal diturunkan, dengan dalil firman Allah dalam surat al-hijr ayat 87. Mujahid berpendapat bahwa al-fatihah adalah surat madaniyah. Terdapat hadits dengan sanad jayyid diriwayatkan dari Abu Huroyroh ra. Bahwa sesungguhnya Iblis menangis ketika diturunkan fatihatul kitab (surat al-fatihah) dan surat al-fatihah diturunkan di Madinah. Sebagian ulama berpandangan, surat al-fatihah diturunkan dua kali, sekali di Mekah dan sekali di Madinah, sebagai bentuk kemuliaan terhadapnya. Dan sebagian ulama yang lain berpandangan, al-fatihah diturunkan setengah-setengah, setengah di Mekah dan setengah lagi di Madinah.
2. surat al-Furqon. Ibnu al-Faros berkata, jumhur ulama berpendapat, al-furqon adalah surat makkiyah. Sedang adh-dhohak berpandangan, bahwa al-furqon adalah surat madaniyah.
3. surat al-Insan. Ada yang berpendapat, al-insan adalah surat madaniyah. Dan ada yang berpandangan, bahwa al-insan adalah surat makiyah kecuali satu ayat (al-insan; 24)
4. surat al-lail. Yang mashur adalah pendapat yang mengatakan, bahwa al-lail adalah surat makiyah. Ada yang mengatakan, al-lail adalah surat madaniyah, karena dalam sebab turunnya surat ini terdapat cerita an-nakhlah (pohon korma). Dan ada juga yang mengatakan, dalam surat al-lail terdapat ayat-ayat makiyah dan terdapat ayat-ayat madaniyah.

Imam Suyuti mengutip pendapat al-Baihaki dalam kitabnya ad-dalail. Beliau berpendapat, di sebagian surat-surat yang diturunkan di Mekah terdapat ayat-ayat yang diturunkan di Madinah, yang diletakan dalam rangakaian surat-surat tersebut. Senafas dengan Baihaki, ibnu Hishor juga berpendapat, di setiap surat-surat makiyah dan madaniyah terdapat ayat-ayat pengecualian (mustatsnah), hanya saja sebagian ulama menyandarkan pengecualian tersebut pada ijtihad bukan pada naql.

Beberapa model ayat-ayat pengecualian yang terdapat dalam surat-surat makiyah dan surat-surat madaniyah, sebagai berikut;
1. surat al-baqoroh. Seluruhnya adalah ayat-ayat madaniyah, kecuali dua ayat, yaitu ayat 109 'laysa 'alaika hudahum' dan ayat 272 'fa'fuw wa ash-fahuw'.
2. surat al-a'rof. Qotadah berpandangan al-a'rof seluruhnya makiyah, kecuali ayat 163 'was 'alhum ani al-qoryati......' dan ulama selain beliau berpendapat, seluruhnya makiyah, kecuali dari ayat ini (ayat 163) sampai ayat 172 'wa idz akhodza robbuka min bani adama.....'
3. surat ar-ro'd. Qotadah berpandangan surat ar-ro'd adalah madaniyah kecuali ayat 31. dan yang memandang, bahwa ar-ro'd adalah surat makiyah mengecualikan firman Allah dari ayat 8-13.
4. surat al-balad. Surat ini adalah surat madaniyah, kecuali empat ayat dari awal surat.
5. surat aroayta. Surat ini adalah surat yang diturunkan di Madinah, kecuali tiga ayat dari awal surat, diturunkan di Mekah.

Simbol-simbol Surat Makiyah dan Surat Madaniyah

Ada dua cara mengetahui surat-surat Makiyah dan surat-surat madaniyah. Yang pertama, sima'i dari riwayat-riwayat para sahabat dan tabi'in. Yang kedua, qiyasi melalui simbol-simbol yang digali melalui ijtihad para ulama.

Simbol-simbol surat Makiyah:
1. setiap surat yang disebutkan lafadz kalla.
2. setiap surat yang terdapat ayat sajadah.
3. setiap surat yang diawali oleh ahruf muqotho'ah (huruf tahujji), kecuali surat az-zahrowayn dan surat ar-ro'd.
4. setiap surat yang menceritakan kisah-kisah para nabi dan umat-umat terdahulu, kecuali surat al-baqoroh.
5. setiap surat yang menceritakan kisah nabi Adam dan Iblis, kecuali surat al-baqoroh
6. setiap surat yang di dalamnya terdapat kalimat 'ya ayyuhannas' adalah makiyah. tetapi terkadang surat yang di dalamnya terdapat kalimat 'ya ayyuhannas' adalah surat madaniyah, seperti an-nisa, surat madaniyah diawali kalimat 'ya ayyuhannas'. Begitu pula dengan surat al-Hajj tergolong surat makiyah, meski di dalamnya terdapat ayat 'ya ayyuhalladzina amanu irka'uw wa isjuduw' (ayat 77). al-Maki menegaskan, simbol ini hanya kebanyakan dipakai untuk menunjuk surat-surat makiyah, bukan menunjuk surat-surat makiyah secara keseluruhan. Dan banyak juga kalimat 'ya ayuhalladzina amanuw' dalam surat makiyah.
7. setiap surat yang tergolong ke dalam surat al-mufashol tergolong dalam surat makiyah. (imbuhan yang direduksi dari imam az-Zarqoni)

Simbol-simbol surat madaniyah :
1. setiap surat yang di dalamnya terdapat ayat yang menjelaskan tentang Had, Faridhoh dan sunan.
2. setiap surat yang menyebutkan orang-orang munafik (al-munafiqun) kecuali surat al-'ankabut.
3. setiap surat yang di dalamnya menyebutkan izin untuk berjihad dan menjelaskan hukum-hukum jihad tergolong dalam surat madaniyah. (tambahan yang dipetik dari kitab imam az-Zarqoni)

Sementara itu, Abid Jabiri menyunting pandangan mayoritas pakar ulumul quran, klasik dan kontemporer, bahwa simbol-simbol pemilah makiyah madaniyah terletak pada tema (maudhu'i) dan ungkapan yang digunakan ('ibaroh). Tema-tema dalam surat-surat makiyah berkisar pada 'akidah, hari akhir, mendebat orang-orang musyrik dan kisah-kisah para nabi. Dan ungkapan ('ibaroh) dalam surat-surat Makiyah pendek, tegas, ringkas dan menggunakan kalimat 'ya ayyuhannas'. Sedangkan tema-tema surat madaniyah berkisar pada peribadatan, mu'amalah, mendebat orang Yahudi, orang Kristen dan orang-orang munafik. Dan 'ibaroh dalam surat madaniyah panjang serta menggunakan kalimat 'ya ayyuhalladzina amanu'.

dalam bagian akhir pembahasan surat makiyah dan madaniyah imam Suyuti menjelaskan objek-objek dalam bentuk permisalan-permisalan berkaitan dengan ayat-ayat makiyah dan madaniyah.
1. contoh ayat yang diturunkan di Mekah, tetapi hukumnya madinah, Firman Allah 'ya ayyuhannasu inna kholaqnakum min dzakari wa untsa.........' (al-hujurat: 13) ayat ini diturunkan di Mekah pada hari pembebasan kota Mekah, tetapi ayat ini tergolong madaniyah, karena diturunkan setelah hijrah.
2. contoh surat/ayat yang diturunkan di Madinah, tetapi hukumnya makiyah, surat al-Mumtahanah, diturunkan di Madinah, namun objeknya adalah masyarakat Mekah.
3. contoh ayat yang menyerupai konsep penurunan ayat-ayat madaniyah dalam surat makiyah, ' alladzina yajtanibuuna kabairo al-itsmi wa al-fawahisya illa allamama ........' (an-najm: 32) al-fawahisy adalah maksiat yang dikenai had, dan al-kabair adalah kemaksiatan yang diancam mengerjakannya dan akibatnya dimasukan ke dalam neraka.
4. contoh ayat yang menyerupai model penurunan surat makiyah dalam surat-surat madaniyah, firman Allah dalam surat al-'adiyat ayat 1 'wa al-'adiyaati dhobha' dan firnman-Nya dalam surat al-anfal ayat 32 'wa idz qoluw allahumma in kaana haadza huwa al-haqqo ...'
5. contoh surat yang dibawa dari Mekah ke Madinah, surat al-anfal dan surat al-ikhlas.
6. contoh ayat yang dibawa dari Madinah ke Mekah, firman-Nya dalam surta al-baqoroh ayat 218 'yas'aluunaka 'ani asy-syahhri al-haromi qitali fiyh .....' ayat riba, permulaan surat al-Baro'ah (at-taubah) dan firmannya dalam surat an-nisa ayat 97'
7. contoh ayat yang dibawa ke Habsyi (Etiopia), firman-Nya dalam surat al-imron ayat 64 'qul ya ahla al-kitabi ta'alaw ila kalimati sawai'. Menurut Imam Suyuti, yang benar ayat ini dibawa ke Rum.

Epilog

Mengetahui terma pemilahan surat makiyah dan surat madaniyah amat sangat bermanfaat. Imam az-Zarqoni menyebutkan beberapa manfaat mengetahui terma pemilahan tersebut; yang perrtama, memilah ayat-ayat yang mesti me-nasikh (menghapus) dan ayat-ayat yang mesti di-mansukh (dihapus). Jika terdapat dua ayat al-Quran –yang satu makkiyah dan yang kedua madaniyah- membincang satu tema, serta hukum yang dikandung ayat tersebut bertentangan, maka yang me-nasikh adalah ayat madaniyah, karena terakhir diturunkan. Yang kedua, mengetahui sejarah penerapan syariat dan gradualisasinya secara umum. Yang ketiga, menambatkan keyakinan, bahwa sampainya al-Quran pada generasi muslim saat ini terbebas dari perubahan dan penyimpangan. Terbukti dengan perhatian kaum muslimin terhadapnya (al-Quran), dari sisi pengetahuan mereka tentang ayat-ayat yang diturunkan sebelum dan sesudah hijrah, tentang ayat-ayat yang diturunkan pada malam hari dan pada siang hari, tentang ayat-ayat yang diturunkan pada musim panas dan musim dingin, dan sebabainya.

Daftar Pustaka

1. Suyuti, Abdurrahman, Jalaluddin, al-Hafidz. al-Itqon fi 'ulumi al-Quran. Kairo. Daar el-Hadits. 2004 (pentahkik Ahmad bin Ali)
2. Az-Zarqoni, Abdul Adzim, Muhammad, Syeikh. Manahilu al-'irfan. Mesir. Daar es-Salam. 2006.
3. As-Suyuti, bin Abu Bakar, bin Abdurrahman, Jalaluddin, al-Imam. Al-Asybah wa An-Nadzoir. Mesir. Maktabah Taufiqiyah.
4. Syalbi, Abu Zayd. Tarikh al-hadhoroh al-'arobiyah. Kairo. Maktabah Wahbah.
5. Jabiri, Abid, Muhammad, Duktur. Madkhol ila al-qurani al-karimi (al-juz'u al-awwalu fi at-ta'rifi bi al-qurani). Beirut. Markaz ad-dirosat al-wahdati al-'arobiyati. Cetakan 2 2007.

Saturday, June 28, 2008

Telaah Wacana Paham Pluralisme Agama

Dalam dialog yang ditayangkan di stasiun televisi, canel TVRI yang saya tonton lewat kaca komputer, seorang moderator mengatakan, pluralisme agama di Indonesia merupakan sebuah keniscayaan yang tidak dapat dihindari. Moderator tersebut bisa dipandang telah terjerat dan terbawa arus pluralisme yang sedang berkembang dan mengepakkan sayapnya di Indonesia. Sebab dalam ruang pemikirannya tidak lagi dibedakan antara paham pluralisme dan pluralitas, tidak lagi membedakan antara kemajemukan agama dan paham yang menyatakan kebenaran agama bersifat relatif (tidak hanya terdapat pada suatu agama tertentu), dan bisa jadi ia memahami bahwa pluralisme merupakan suatu solusi yang selama ini dinanti-nantikan oleh masyarakat, agar tidak lagi ada sengketa antara satu agama dengan agama yang lainnya.

Paham pluralisme agama khususnya di Indonesia saya tilik hanya dinisbahkan pada agama Islam tidak pada agama-agama lain, dan yang lebih membuat saya aneh adalah, sebagian umat Kristen malah mendukung para aktivis Islam pluralis, mereka seakan tidak memiliki prinsip kebenaran absolut yang seharusnya mereka pelihara dan junjung tinggi, ataukah memang ada udang di balik batu. Ditambah lagi banyak aktivis pluralis muncul dari universitas yang berbasis Islam dan khusus mengkaji ilmu-ilmu Islam (IAIN), mengapa demikian?

Awal pluralisme agama
Yang pertama kali mengusung paham pluralisme agama di Indonesia adalah Prof. Dr. Nurcholis Majid mantan rektor Universitas Paramadina Jakarta. Paparannya tentang paham tersebut terlihat dengan gamblang dalam bukunya ‘Islam Pluralis’ dan paham pluralisme praktis tercermin dalam bukunya ‘Fikih Lintas Agama.

Munculnya paham pluralisme agama secara umum diawali oleh munculnya istilah ‘Islam inklusif’. Istilah ini bukan berasal dari intern Islam, namun teradopsi dari ekstern Islam. Pada abad pertengahan di barat terjadi yang disebut The Dark Ages (zaman kegelapan), dimana Gereja menuntut seluruh doktrin-doktrinnya diterima oleh seluruh masyarakat barat, hingga jika di antara mereka ada yang tidak patuh pada doktrin tersebut, mereka akan mendapatkan hukuman, yang diistilahkan dengan ‘Inquisisi’ (hukuman mati). Ilmuwan terkenal yang terkena hukum inquisisi gereja adalah Galileo Galiley. Hanya karena penemuannya tidak sesuai dengan dogma gereja. Galiley berpendapat bahwa bumi mengelilingi matahari, ketika gereja men-dogma matahari yang mengelilingi bumi (geosentris).

Lalu pada tahun 1962-1965 M. Katolik Roma mengadakan Konsili Vatikan II yang hasil akhirnya adalah perubahan teologi, dari eksklusif menjadi inklusif. Hal ini menurut beberapa pengamat disebabkan oleh dua hal, yang pertama sejarah getir yang penah terjadi di Barat, yang membuat mereka malu akibat kelakuan gereja masa itu, dan yang kedua kerancuan konsep trinitas. Dari Istilah Kristen Inklusif ini munculah istilah Islam Inklusif yang diusung oleh sementara cendikiawan Islam, yang ujung-ujungnya menjerat diri dengan faham pluralisme agama.

Istilah Islam inklusif mengindikasikan adanya Islam eksklusif, padahal dalam ajaran al-Quran, telah diberitahukan adanya eksistensi agama-agama yang lain selain Islam (QS. al-Kafirun: 6) dan perintah untuk berdialog dengan orang yang tidak sefaham dengan Islam firman Allah Swt. وجادلهم بالتي هي احسن oleh sebab itu dalam Islam tidak ada yang disebut dengan itilah Islam Inklusif dan Islam eksklusif.

Pelabelan istilah ‘Islam inklusif’ selain tidak selaras dengan ajaran Islam, juga tidak sealur dengan sejarah sebagai faktor terbentuknya Istilah itu. Islam tidak mengalami sejarah yang membuat masyarakat rigid, vakum dan stagnan sebagaimana Gereja, dan tidak ada problem kerancuan dengan masalah teologi (ketuhanan). Tuhan dalam Islam jelas desebutkan satu, tidak beranak, tidak diperanakan (al-Ikhlas: 1, 3 & 4), ber-ism Allah, berbeda dengan agama Kristen, yang tidak jelas dengan sistem ketuhanan mereka, bahkan tidak ada satupun ayat Bible yang menyebutkan bahwa tuhan Kristen adalah Trinitas.

Merebaknya pluralisme agama
Masyarakat Indonesia secara umum sering disebut sebagai masyarakat yang konsumtif, latah jika ada hal-hal yang baru, bukan hanya dalam pakaian, makanan, namun juga pemikiran. Hal ini yang menjadi salah satu faktor cepat tersebarnya sesuatu yang baru di Indonesia, seperti liberalisme, pluralisme agama, sekulerisme dan Hermeneutika. Mereka tidak melihat dari mana istilah-istilah itu muncul, bagaimana prosesnya dan tanpa mengkaji ulang ‘produktif atau tidak produktif’ ‘positif atau negatif’ ‘konstruktif atau destruktif’. Sikap masyarakat seperti ini yang nampaknya diketahui oleh kristen-barat, hingga hal ini dijadikan lahan empuk untuk menyebarkan doktrin-doktinya dan penghancuran pemikiran umat Islam. Hingga tak hayal beberapa cendikiawan indonesia berfikiran nyeleneh dan menghantam agamanya sendiri.

Universitas IAIN yang notabene sebagai universitas yang berbasis agama Islam dan mempelajari keilmuan Islam malah memberlakukan diktat kuliah yang materinya adalah hasil kajian orientalis barat yang jelas-jelas bertujuan untuk mendestruksi (menghancurkan) Islam. Upaya ini didukung oleh para dosen yang mebiarkan anak didiknya untuk berpikir bebas, hingga saking bebasnya, sebagian mereka tidak lagi mengenal adanya batasan etika dan moral. Seperti yang pernah terjadi di IAIN Jogjakarta beberapa tahun silam, Allah dikatakan sebagai anjing dan pengecut serta mereka mengasumsikan mesti adanya tafsiran-tafsiran baru yang liberal terhadap al-Quran, yakni dengan menggunakan metode hermeneutika. Dosen mereka tidak melarang, namun malah mengatakan ‘biarkan saja, anak-anak kita sedang berwacana’.

Selain itu, IAIN juga menggunakan metodologi para orientalis dalam memandang Islam. Orientalis yang banyak meneliti Islam berasal dari kristen-barat. Nampaknya, sementara cendikiawan muslim Indonesia telah terpengaruh oleh statement pasaran ‘kemajuan metodologi barat’. Statement pasaran ini sebetulnya perlu dikaji ulang, hingga tidak lagi timbul generalisasi dan penyamarataan seluruh metodologi yang berasal dari barat. Kemajuan metodologi barat hemat saya hanya terbatas pada worldview (cara pandang) terhadap ilmu pengetahuan, teknologi, penelitian ilmiyah dan penemuan, bukan dalam memandang agama. Pandangan barat terhadap agama secara umum masih terpengaruh oleh sejarah pahit yang pernah mereka alami bersama Gereja, hingga mereka cenderung tidak bersahabat dalam memandang agama, yang ujung-ujungnya memunculkan pandangan sekuler, plural dan liberal.

Pluralisme, konteks zaman nabi dan kini
Sebetulnya, upaya mem-pluralisme agama sudah ada sejak masa nabi Muhammad Saw. Dalam sebuah hadits nabi yang diriwayatkan oleh ibnu Abi Hatim diceritakan, bahwa pada suatu hari nabi didatangi oleh pembesar-pembesar Quraisy, mereka mengajak kongsi ibadah dengan beliau, yakni jika beliau bersedia menyembah tuhan mereka, mereka juga akan bersedia menyembah Allah Swt dan berkongsi dalam setiap perkara agama. Hingga turunlah firman Allah surat al-Kafirun.

Ajakan pembesar Quraisy untuk berkongsi ibadah antara agamanya dengan Islam saat itu disebabkan oleh beberapa hal, yaitu Islam saat itu sudah mempunyai banyak penganut, penyebaran ajaran agama Islam sudah tidak dapat dibendung lagi, dan adanya unsur politik Quraisy, yakni dengan ikut sertanya bersama Islam, mereka juga dapat mengepakkan sayapnya ke seantero jazirah arab, bahkan di alam raya dan orang-orang yang sudah menganut agama Islam secara otomatis masuk juga ke dalam agama mereka. Namun nabi Muhammad Saw. dengan petunjuk Allah Swt. Menolak ajakan itu, sebab ada perbedaan yang mendasar antara Islam dan agama mereka, terutama dari sisi teologi. Islam menganut faham monoteis, sedangkan Quraisy mayoritas menyembah berhala.

Saya memandang adanya kemiripan antara kondisi Islam di Zaman nabi Muhammad Saw. dengan Indonesia, di mana umat Islam sudah menjadi mayoritas di banding dengan umat agama yang lain. Pluralisme bertujuan untuk merobohkan akidah umat yang mayoritas itu dan melemahkan spirit juang untuk mengabdi pada Allah Swt. Tuhan yang Hak untuk disembah. Hanya saja, dulu yang terang-terangan menggembor-gemborkan ajakan pluralisme adalah pembesar Quraisy, sedang saat ini yang menggembor-gemborkan semangat berpluralisme adalah umat Islam sendiri. Ini berarti Non Muslim sudah lebih maju dalam mempropagandakan pluralisme.

Harus diketahui bahwa paham pluralisme agama telah merebak di Indonesia, dan telah ditumbuhkembangkan oleh sebagian sarjana-sarjana lulusan barat dan lulusan IAIN. Saya tidak menggeneralisir seluruh sarjana barat, sebab di antara mereka ada yang berfikiran lurus dan ikut serta dalam mebasmi virus-virus liberalisme dan pluralisme agama, seperti Dr. Syamsuddin Arif, MA.

Dan yang lebih penting adalah upaya pembendungan faham ini agar tidak menjalar sampai ke generasi umat selanjutnya, dengan pembentukan kader-kader umat yang betul-betul lurus akidahnya. Wallahu a’lam bishawab

Monday, March 24, 2008

Mengenal Belenggu-Belenggu Akal; Refleksi Jiwa yang Peka

Akal adalah anugerah Allah Swt. bagi manusia, yang memiliki peran penting bagi kehidupan manusia itu sendiri dan makhluk-makhluk-Nya yang lain terutama dalam hal pemeliharaan dan pemanfaatan serta kemajuan dan perkembangannya. Kalau kita menilik sisi penciptaan akal itu sendiri, kita akan mengetahui bahwa ia adalah salah satu ciptaan dari ciptaan-ciptaan Allah SWT yang dimuliakan oleh-Nya. Sebagaimana dikisahkan dalam Hadits Qudsi sebagai berikut: ‘pada suatu masa setelah Allah SWT menciptakan akal, Dia berfirman kepadanya, wahai akal tahukah engkau? Bahwa sesungguhnya Aku belum pernah menciptakan makhluk yang mulia seperti engkau. Kemudian akal menjawab, sesungguhnya di dunia ini tidak ada yang mulia melainkan Engkau ya Allah. Kemudian Allah SWT bertanya, siapakah Tuhanmu? Kemudian akal menjawab, Engkau adalah Tuhanku. Kemudian Allah memerintahkan pada akal, menghadaplah engkau ke belakang, kemudian akal menghadap kebelakang. Dan Allah memerintahkan kembali untuk menghadap ke sebelah kanan, akal pun mematuhi apa yang Allah perintahkan.’

Akal pula merupakan salah satu wasilah atau perantara yang dapat digunakan oleh manusia untuk sampai kepada Tuhannya yang Agung dengan jalan mentadaburi alam. Sebagaimana firman Allah SWT :

‘Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta silih bergantinya malam dan siang benar-benar menjadi bukti (eksistensi dan kebesaran Allah SWT) bagi ulil albab’
(Q.S. Al-imran:190)

Ayat tersebut di atas telah jelas sekali menunjukkan bahwa alam raya ini adalah ladang garapan bagi manusia yang berakal untuk sampai pada Robbnya, sebagai tempat kembali yang hakiki dan sebagai tujuan penciptaan manusia itu sendiri.

Dalam mengarungi bahtera hidup ini, manusia kerapkali tidak pernah luput dari kehidupan sosial terutama dalam hal interaksi antara satu dengan yang lainnya, sebab hal tersebut sudah menjadi suatu kebutuhan asasi bagi mereka, seperti dalam hal perdagangan, sudah menjadi keniscayaan kiranya bahwa perdagangan tidak dapat dilakukan apabila hanya terdapat satu individu saja di dalamnya, misalkan hanya ada penjual atau pembelinya saja. Melainkan perdagangan dilakukan oleh dua orang atau lebih, yang satu berfungsi sebagai penjual dan yang lainnya berfungsi sebagai pembeli, maka perdagangan dapat dilaksanakan. Selain itu interaksi manusia dengan makhluk-makhluk lain seperti hewan, tumbuhan dan sebagainya merupakan hal yang lumrah bagi mereka, baik untuk memenuhi kebutuhan mereka maupun untuk hanya sebatas benda kesayangan. dan tentunya dalam menejemen interaksi tersebut - interaksi antara manusia dengan manusia serta antara manusia dengan hewan, tumbuhan dan sebagainya – manusia membutuhkan akal agar terjalin proporsionalitas sikap.

Akal memiliki peran yang sangat penting bagi kehidupan manusia, di antara peran tersebut adalah; menata diri maupun lingkungan berdasarkan menejmen dan konsep yang tertata agar tercipta keindahan yang dapat dinikmati oleh diri sendiri maupun publik, memahami dan mengambil pelajaran dari tanda-tanda eksistensi dan kekuasaan Allah Swt. yang tertebar di alam raya ini. Serta merajut pemahaman kejiwaan dan muamalah seperti psikologi dan emosional
­­­­­­­­­
Namun akal tidak akan dapat berperan dengan efektif apabila terdapat perintang atau benteng yang menghalangi kinerjanya. Rintangan dan benteng tersebut sebetulnya berasal berpangkal dari aktifitas manusia itu sendiri, akan tetapi kebanyakan kita tidak mengakui atau bahkan tidak merasa bahwa kitalah sebetulnya pelaku yang menimbulkannya. Di samping itu kita juga jarang sekali mengkritisi aktifitas yang kita lakukan, yang menyebabkan keterpurukan diri kita di dalam kesalahan yang kita buat sendiri, akibatnya bukan hanya fikiran, namun juga hati dan diri kita hampa tanpa isi. Oleh sebab itu sudah menjadi suatu keniscayaan bagi kita untuk mengenal beberapa belenggu yang dekat sekali dengan kita dan barangkali sikap langganan yang kita lakukan.

1. Berburuk Sangka

Berburuk sangka atau yang sering kita dengar dengan istilah Su’u Dzon yaitu menganggap buruk sikap, pemikiran dan perbuatan orang lain. Sebagai contoh, saya pernah diminta menemani dua orang anak kecil - kakak beradik – untuk membeli makanan di tempat yang biasa saya kunjungi, setelah kami sampai dan memesan makanan tersebut di sana, ada seorang laki-laki setengah baya memanggil-manggil adik kecil dari kakak beradik tersebut, saya ketika itu sempat beranggapan dia hendak menculik adik kecil itu, saya dengan diam-diam membuntutinya berjalan menuju panggilan orang itu dengan kesiapan yang luar biasa untuk menghantam orang itu, kalau ternyata benar ia ingin menculiknya, tetapi ternyata ia hanya ingin memberikan permen kepadanya. Dari sini kita dapat mengambil i'tibar bahwa su'u dzon dapat membentengi interaksi positif antara sesama manusia dan dapat membelenggu fikirannya, sebab hari-harinya dipenuhi dengan prasangka-prasangka yang menghimpit pemikiran dan mempersempit gerak.

Orang yang berburuk sangka cenderung sempit dalam hidupnya, karena dunia ini ia nikmati dikala ia tidak bertemu dengan orang-orang yang yang ia anggap buruk perangai, sikap serta fikiran terhadapnya dan juga tidak menikmati nikmat yang Allah Swt. anugerahkan kepadanya, padahal bisa jadi ia terlalu mengedepankan pandangan subjektifnya terhadap orang lain, yang berdampak pada gerak aktifitasnya sendiri dan menutupi anugerah yang Allah karuniakan untuknya. Selain itu orang yang berburuk sangka juga penulis katakan rugi. Sebab seseorang yang hendak memberikan keuntungan kepadanya tidak akan pernah sampai, dikarenakan penghindarannya terhadap khalayak ramai. Sebagai contoh seorang pelajar SMA yang bermasalah dengan gurunya, ia menganggap bahwa gurunya selalu bersikap keras dan kurang proporsional terhadapnya, oleh karena itu ia selalu menghindarinya, padahal sang guru memiliki metode dan pengajaran tersendiri dalam mendidiknya. Anda bayangkan seorang murid tidak mendapatkan pendidikan dari gurunya hanya karena disebabkan oleh buruk sangka sang murid. Sungguh hal yang menyayangkan.

Kemudian apa perbedaan antara Menyendiri orang yang berburuk sangka dengan orang yang beruzlah?. jelas sekali berbeda, menyendiri karena berburuk sangka disebabkan takutnya kepada orang dan betujuan untuk menghindarinya, sedangkan menyendiri karena uzlah, disebabkan keinginannya untuk berada di tempat sepi dan bertujuan untuk menenangkan diri dan taqorrub (mendekatkan diri) kepada Allah Swt. yang kemudian bersama-sama kembali bersama khalayak dalam membangun citra kemanusiaan.

2 Taklid (mengikuti orang lain tanpa pengetahuan)

Salah satu sifat fikiran menurut hemat penulis adalah menyuarakan pendapat atau pengetahuan yang sudah dimilikinya, ketika seseorang menghambat atau memendam penyuaraan tersebut dan bahkan mengikuti pendapat orang lain padahal sebetulnya ia menolak pendapat tersebut, maka yang terjadi adalah penghimpitan pemikiran yang menyebabkan ia terbelenggu.

Banyak sekali orang yang mengalami satgnanitas diri disebabkan oleh hal tersebut di atas, baik dari kalangan masyarakat maupun mahasiswa. Gejala sederhananya dapat kita lihat dalam forum-forum diskusi ataupun dialog, tentu kita semua sepakat bahwa tujuan dan target dari forum-forum diskusi itu adalah kebaikan, tapi tidak sedikit peserta diskusi itu membeo terhadap pendapat-pendapat yang diutarakan oleh orang lain, mereka tidak mampu memberi tanggapan ataupun sanggahan terhadap permasalahan yang diangkat. Sebagai contoh, sebuah desa mengadakan diskusi yang berkenaan dengan masalah pertanian. Sebagian dari mereka ada yang aktif dalam menyuarakan pendapat, dan ada juga yang non aktif, dari yang non aktif tersebut barangkali ada yang memang tidak memiliki pendapat sama sekali dan ada pula yang yang mempunyai pendapat, tapi tidak menyuarakannya, padahal bisa jadi pendapatnya lebih baik dari pendapat-pendapat yang lain. Namun ia tetap saja pada pendiriannya untuk tidak bersuara.
Mengikuti dengan dengan tanpa pengetahuan Berbeda sekali dengan mengikuti yang diiringi dengan pengetahuan, yang pertama dapat menimbulkan stagnasi sebagaimana penulis jelaskan di atas dan yang ke dua dapat menyebabkan kemaslahatan bagi aplikator itu sendiri, dikarenakan ia bukan hanya berbuat akan tetapi juga mengetahui tumpuan dan landasan yang ia pakai untuk berpijak sehingga terbentuklah amalan yang dapat dipertanggungjawabkan.

3. Fanatik

Fanatik adalah menganggap suatu pendapat, pemikiran atau perbuatan tertentu paling benar sedang yang lain salah. Fanatik tersebut bisa jadi muncul dari dalam diri sendiri seperti anggapan akan apa-apa yang bersumber dari dirinya itulah yang paling benar sedang dari yang lainnya salah, dan juga yang muncul dari orang lain seperti anggapan apa yang bersumber dari si A lah yang benar sedang dari B, C, D atau dari selainnya itu salah. Hal tersebut juga dapat membelenggu fikiran, sebab selain tidak percaya pada sumbangan-sumbangan fikiran orang lain terhadapnya, juga tidak mau merekonstruksi hasil buah fikirannya sendiri ketika mendapatkan ide atau masukan yang lebih baik dari orang lain, hingga terbentuklah kemandekkan, dan juga dapat menyebabkan eksklusifisme diri, yang menutup rapat pintu kemajuan diri, baik dalam berfikir maupun bersikap.

4. Rasa Takut

Kita mungkin pernah mendengar cerita teman kita mengenai pengalamannya ketika melihat hantu, ia barangkali mengatakan pada kita, ia susah sekali berkata ataupun berteriak untuk meminta pertolongan orang lain, dan mungkin ia juga mengatakan yang terlintas dalam fikirannya dan secara reflek ia ikuti ketika itu tidak lebih dari sebuah kata yaitu ‘lari’. Atau kita juga pernah melihat seseorang yang takut, entah itu kepada preman, polisi atau tokoh masyarakat yang disegani, ketika mereka berbicara dengannya, ia hanya mendengar dan mengatakan kata iya dan tidak banyak merespon ataupun menyanggah apa yang mereka katakan, kendati perkataan mereka bertolak dengan apa yang ada dalam fikirannya. Hal ini merupakan contoh sederhana dari rasa takut yang dapat membelenggu dan menghimpit fikiran, serta mengikis rasa berani dalam diri.

5. Primordial

Gerak perbuatan seseorang menurut hemat saya dipengaruhi oleh paradigma (sudut pandang) yang ada di otak dan benaknya, kalau paradigma seseorang jelek terhadap orang lain, maka respon yang ia tunjukkan kepadanya tidak jauh dari respon tak sedap. Sebagai contoh, saya pernah diminta menghantarkan daun sereh kepada salah seorang pejabat, sebelum berangkat, saya banyak diberi statemen dan omong-omong yang menunjukkah sikap yang tak pernah baik sang pejabat kepada siapapun, bahkan pernah, respon tersebut mengena kepada salah satu teman satu rumah yang pernah menemuinya di kantor, saya betul-betul termakan dan memegang erat-erat statemen itu, otak saya dipenuhi dengan fikiran-fikiran yang tak enak terhadapnya, pendeknya pandangan saya terhadap pejabat tersebut jelek. Setelah sampai di pinggir rumahnya yang kebetulan berdekatan dengan sebuah Mesjid, saya menelfon pejabat itu, dan berbicara kepadanya dengan irama yang agak sedikit kasar, saya bilang bahwa saya tidak bisa datang ke rumahnya, dengan alasan saya tidak tahu di mana letak rumahnya, saya mau ketemu dengan dia di sebuah mesjid yang berdekatan dengan rumahnya. Ketika beliau datang, subhanallah ternyata beliau sopan, beliau mengucakan banyak terima kasih, beliau akrab mengobrol dengan saya, bahkan terlihat beliau menganggap saya sebagai anaknya sendiri, ketika beliau mendengar saya berkata bahwa saya tidak pernah tidak lulus, lantas beliau menyelamani tangan saya, dan memberikan informasi beberapa universitas, sebagai masukan untuk saya, karena saya berkata kepada beliau kalau saya hendak melanjutkan studi S2.

Nah, primordial (sikap tunduk menunduk) kepada orang lain pada hakikatnya disebabkan oleh paradigma yang terisi penuh dengan pandangan-pandangan yang terlalu meninggikan orang yang dianggap memiliki keutamaan. Saya faham, bahwa orang yang berprimordial sebetulnya berniat dan berkehendak untuk menghormati orang yang dianggapnya memiliki keutamaan, namun saya katakan bahwa itu bukanlah cara yang tepat untuk mewujudkan hal tersebut, yang ia lakukan justeru akan menyebabkan fikirannya terbelenggu, stagnan, vakum dan rigid. Menghormati orang lain cukup seperti apa yang diajarkan oleh Islam, yaitu dengan hal yang sewajarnya dan tidak berlebihan, seperti bersikap dan berkata sopan dan santun kepadanya.
Demikianlah belenggu-belenggu fikiran yang dapat menghambat penuangan hasil femikiran, yang harus senantiasa kita hindari, agar tercipta dalam fikiran kita kemurnian dalam menuang gagasan-gagasan yang membangun ummat.
Wallahu a’lam bishawab

Model Santri Lulusan ‘Pesantren Kilat Ramadhan’

Jiwa manusia menurut hemat penulis dipengaruhi oleh dua faktor yang dapat membawanya ke dalam wilayah kebaikan dan ke dalam wilayah keburukan, yang pertama yakni faktor intern; yang ditimbulkan oleh dua hal yaitu, dorongan hawa nafsu dan dorongan robbani untuk melakukan ketaatan. Dan yang ke dua dipengaruhi oleh faktor ekstern, yang juga berpotensi untuk membawa jiwa ke dalam wilayah kebaikan dan keburukan, salah satu ‘pintu masuk’ yang dilalui oleh faktor ini adalah pergaulan, jika pergaulan tersebut positif, secara otomatis ‘sang’ jiwa akan merasa positif, namun apabila pergaulan tersebut negatif, maka hasilnyapun demikian. Dorongan-dorongan yang mengarah kepada kenegatifan tersebutlah yang sebetulnya akan menjadi hijab antara ‘sang’ hamba dengan Robnya, hingga tertutupnya potensi-potensi yang menguntungkan bagi ‘sang’ hamba, terlebih lagi jika dorongan negatif dalam jiwanya mendominasi, maka yang terjadi adalah destruktifitas di muka bumi ini.

Dengan melihat realitas ini, bulan suci Ramadhan yang menjenguk umat manusia setahun sekali ini dapat dipastikan, berfungsi sebagai sarana untuk menghantarkan mereka kepada fithroh asal mereka, karena yang berpuasa, selain mendapatkan pahala yang langsung diganjar oleh Allah Swt. namun juga di dalamnya (bulan puasa) terdapat banyak sekali latihan-latihan yang mengandung sejuta hikmah, yang dapat menggiring pada kesadaran diri, baik dalam hubungan antara hamba dengan Robnya, maupun dalam interaksi sosial, hingga santri (orang berpuasa) yang lulus dalam ‘pesantren kilat’ Ramadhan ini mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

1. Jujur

Dalam berpuasa, mereka dilatih untuk senantiasa mengamalkan kejujuran. Kejujuran di sini tidak bermakna definitif yang dibahas di bangku-bangku sekolah dan universitas, namun bermakna aplikatif, misalnya, seorang yang berpuasa tidak makan dan tidak minum di siang hari, bahkan ketika ia dalam keadaan sangat lapar dan dahaga di tengah padang pasir yang disinari oleh terik mentari atau di tengah lapangan, tempat dimana ia bekerja, sebab tatkala ia makan atau minum di siang hari, sedang ia dalam keadaan berpuasa, ia tahu bahwa, ia tidak akan mendapatkan pahala dari sisi Tuhan yang maha Kuasa. Inilah kejujuran yang diajarkan dalam ‘pesantren kilat Ramadhan’, karena bisa saja si ‘yang berpuasa’ membatalkan puasanya ketika ia berada dalam keadaan seorang diri.

2. Empati & Dermawan

Arti kata empati ialah merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Santri yang berpuasa, selain diajarkan kejujuran kepadanya, juga diajarkan sikap empati, terutama kepada saudara-saudaranya yang fakir dan miskin, contoh, seorang yang berpuasa tentu merasakan perih dan getirnya perut di saat lapar, sebab tidak terisi oleh makanan. Hal ini mengajarkan kepadanya bahwa, saudara-saudaranya yang fakir dan miskin juga merasakan perasaan yang sama dengan dirinya di saat mereka merasa lapar, bukan disebabkan oleh puasa, tapi disebabkan oleh kondisi mereka yang serba kekurangan. Hingga dampaknya adalah, munculnya sikap dermawan dari ia yang berpuasa, untuk senantiasa memberi dan mencukupi segala kebutuhan mereka (fakir dan miskin).

3. Adil

Allah Swt. yang maha Adil senantiasa megajarkan kepada hamba-hamba-Nya untuk bersikap adil, seperti dalam ibadah haji di tanah suci Mekah, Dia memerintahkan kepada orang-orang yang berhaji untuk memakai pakaian Ihrom, dengan tanpa mengenal ras, warna kulit, etnik dan bangsa, melainkan semua saat itu dalam keadaan sama yaitu, berpakaian Ihrom untuk mengikuti perintah Robnya. Begitu juga dalam Ramadhan ini, Dia memerintahkan kepada semua orang mukmin untuk menahan lapar dan haus di siang hari, tanpa memandang status, kaya atau miskin, berpangkat atau tidak berpangkat, semuanya sama dihadapan Allah, mereka diperintah untuk makan, minum dan sebagainya di malam hari, dimulai dengan berpuka puasa dan diakhiri dengan sahur. Ini membuktikan bahwa Allah Swt. maha Adil dan senantiasa mengajarkan kepada hamba-hamba-Nya untuk bersikap adil.

4. Penuh Persiapan

kehidupan di dunia ini suatu saat akan menemui titik akhirnya dan sudah menjadi kepastian bahwa, manusia suatu saat akan menemui ajalnya, maka Allah Swt. mewanti-wanti agar mereka mempersiapkan diri untuk menghadapi kehidupan berikutnya; akhirat. Nilai-nilai persiapan ini sebetulnya diajarkan oleh Allah Swt. dalam Ramadhan. Bukankah orang yang berpuasa dianjurkan untuk memakan sahur, supaya di siang hari, katika ia bekerja atau beraktifitas, ia tidak merasakan kepayahan dan keletihan, dan supaya ada energi dan tenaga untuk mengerjakan pekerjaan atau aktifitasnya? Dan bukankah mereka melakukan hal-hal yang mereka butuhkan, sebelum suara adzan berkumandang dan terik mentari menghangatkan badan?.

Dari kondisi ini dapat ditarik sebuah hikmah bahwa, umat manusia harus senantiasa berbekal. Bekal di sini penulis bagi dalam dua bagian, yaitu; yang pertama, berbekal jangka pendek, yakni dalam konteks dunia, seperti, berbekal untuk hidup layak, berbekal untuk mendapatkan prestasi yang gemilang, baik dalam bekerja maupun dalam akademis dan sebagainya. Yang kedua, berbekal jangka panjang, yakni untuk kehidupan akhirat, sebaik-baiknya bekal dalam konteks ini adalah takwa kepada Allah Swt. sebagaimana firman-Nya.: fatazawwadu fainna khoirozzâdi at-taqwa.

5. Tidak menunda-nunda waktu

Murobbi atau pendidik umat manusia terhebat dan terbesar pengaruhnya; Nabi Muhammad Saw. menganjurkan umatnya untuk mensegerakan berbuka puasa apabila waktunya telah tiba. Hal ini mengindikasikan bahwa, ‘pemanfaatan waktu secara cepat dan proporsional’ hendaklah menjadi prinsip yang harus dipegang oleh umat Islam. Dalam al-Quran Allah Swt. banyak sekali bersumpah atas nama waktu, seperti dalam surat al-‘Ashr, ad-Duha, dan al-fajr. Maka sekali lagi penulis kemukakan bahwa, inilah bukti urgensi waktu, hingga Dia yang maha mengetahui bersumpah atas nama waktu. Dan dampak yang dapat kita lihat dengan kasat mata akibat dari pemanfaatan waktu adalah kemajuan, seperti yang dialami oleh negara Jepang, yang menggunakan waktunya untuk membaca.

Demikianlah sebagian model atau ciri-ciri santri lulusan ‘pesantren kilat Ramadhan’, semoga kita semua dapat mengambil ‘ibroh dari puasa bulan Ramadhan yang setiap tahun dijalani oleh kaum Muslimin ini. Amin.

Thursday, March 20, 2008

Meneropong Akar Feminisme

Menalar backround munculnya feminisme
Tidak diragukan lagi bahwa feminisme adalah produk yang diusung oleh Barat, sebagaimana liberalisme dan pluralisme agama. munculnya gerakan-gerakan pemikiran tersebut tidak terlepas dari sejarah yang pernah dialami oleh barat yang masih ada hubungannya dengan agama Kristen. Pada abad pertengahan, barat mengalami sejarah getir yang dikenal dengan sebutan masa kegelapan (the Dark Ages). Salah satu motif terjadinya masa kegelapan dalam peradaban barat adalah dominasi agama Kristen, yang mengklaim dirinya sebagai institusi resmi wakil Tuhan yang ada di muka bumi ini. Klaim Kristen sebagai wakil Tuhan tersebut berbeda sama sekali dengan sikap dan gerakan mereka, kekuasaannya saat itu membuat mereka bebas mengadakan gerakan-gerakan brutal bagi siapa saja yang melanggar ketentuan-ketentuan Gereja, salah satu bentuk kebrutalan mereka adalah terbentuknya institusi Kristen yang dikenal dengan sebutan Inquisisi. Beberapa ahli sejarah, seperti Peter De Rose dan Keren Amstrong yang sekaligus mantan biarawati telah mencatat dan mendeskripsikan inquisisi yang dialami oleh barat, mereka dalam tulisannya menyebut inquisisi sebagai evil (Iblis). Orang-orang yang menentang gereja disiksa dan dibakar, namun yang mengherankan adalah penyiksaan dan pembakaran itu dilakukan oleh orang-orang tersuci yang bertindak atas perintah Jesus (Vicar of Jesus).

Ukuran pertentangan komunitas barat dengan Gereja pasti tidak terlepas dari pertentangan mereka dengan Bible (kitab suci) orang-orang kristen dan konsep teologi sebagai dogma yang mesti atau mau tidak mau harus diterima oleh mereka. Saya akan langsung mengutip beberapa Ayat- ayat Bible yang terdapat di dalam kitab perjanjian baru yang berkaitan dengan wanita, di antaranya sebagai berikut:
1. "Wanita harus belajar dengan berdiam diri dan dengan rendah hati. Aku tidak membenarkan wanita mengajar atau memerintah lelaki; wanita mesti berdiam diri. Hal ini demikian kerana Adam dicipta dahulu, kemudian barulah Hawa. Lagi pula bukan Adam yang ditipu, tetapi wanita yang tertipu, sehingga melanggar perintah Allah." 1 Timothy 2:11-14
Ayat ini menyatakan, bahwa wanita harus berdiam diri dan rendah hati serta tidak dibenarkan untuk mengajar dan memerintah lelaki.
2. "Kaum wanita haruslah berdiam diri di dalam gereja. Mereka tidak dibenarkan berkata-kata; mereka harus patuh kerana demikianlah ajaran Taurat. Jika mereka hendak mengetahui sesuatu, mereka harus bertanya kepada suami mereka di rumah. Amatlah memalukan jika seseorang wanita berkata-kata di perjumpaan jemaah." 1 Korintus 14:34-35
Ayat bible ini menjelaskan bahwa, wanita tidak diperbolehkan untuk berbicara dalam sebuah perkumpulan atau jama'ah.

Adapun ayat-ayat dalam perjanjian lama yang berkenaan dengan wanita, salah satu di antaranya adalah: "Dan aku menemukan sesuatu yang lebih pahit daripada maut: perempuan yang adalah jala, yang hatinya adalah jerat dan tangannya adalah belenggu. Orang yang dikenan Allah terhindar daripadanya, tetapi orang yang berdosa ditangkapnya. Lihatlah, ini yang kudapati, kata Pengkhutbah: Sementara menyatukan yang satu dengan yang lain untuk mendapat kesimpulan, yang masih kucari tetapi tidak kudapati, kudapati seorang lelaki yang lurus di antara seribu, tatapi tidak kudapati seorang perempuan yang lurus di antara mereka." Pengkhutbah 7:26-28
Ayat ini menerangkan bahwa wanita adalah perangkap, hatinya adalah jerat dan tangannya adalah belenggu. Dan adalah mungkin untuk menemukan seorang laki-laki yang lurus dalam seribu lelaki dan tidaklah mungkin untuk menemukan wanita yang lurus di dalam seribu wanita.

Kalau kita cermati bersama, ayat-ayat bible di atas yang dijadikan dogma oleh gereja, banyak sekali yang mendiskreditkan wanita, maka tidak heran jika wanita barat beberapa dekade kemudian mendeklarasikan konsep feminisme, yang bertujuan untuk mensejajarkan diri dan hak mereka dengan laki-laki. Ini adalah trauma sejarah yang pernah dialami oleh komunitas barat yang menyebabkan pandangan-pandangan mereka kontra dan bertentangan dengan agama kristen, yang ujungnya berimbas pada semua agama.

Wanita dalam Pandangan Islam
Sikap kontra barat terhadap agama kristen seharusnya tidak boleh disamakan terhadap agama-agama yang lain termasuk Islam. Untuk membedakan sikap dan pandangan agama Islam dengan sikap dan pandangan agama Kristen terhadap wanita, kita dapat meniliknya melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan historis dan pendekatan deskriptif-ajaran yang termaktub dalam al-Quran dan al-Hadits.

Pendekatan historis; Marilah kita menengok sekilas kehidupan wanita pada masa jahiliyah atau masa sebelum datangnya agama Islam, mereka sama sekali tidak dihargai sebagai manusia yang telah diciptakan oleh Tuhan, adanya mereka ketika itu dianggap sebagai pemuas hawa nafsu lelaki semata. Seorang wanita yang melahirkan bayi perempuan, menyebabkan sang suami serta keluarganya seakan mendapatkan aib yang membuat mereka malu dan menurunkan derajat mereka, hingga tidak heran mereka tega mengubur hidup-hidup bayi yang berjenis kelamin perempuan, sementara ketika seorang wanita melahirkan bayi laki-laki, keluarganya merasa bangga dan merasa dikaruniai rizki yang tiada terhingga. Kedatangan agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. telah merubah keadaan itu. Islam mensejajarkan kaum wanita dan kaum lelaki, Islam mengharamkan mengubur hidup-hidup bayi perempuan, Islam memberikan hak mereka untuk mendapatkan pengajaran dari kedua orang tua mereka.

Pendekatan deskriptif-ajaran; sumber utama ajaran Islam adalah al-Quran. al-Quran tidak sedikitpun mendiskreditkan kaum wanita, melainkan ia mendeklarasikan keseimbangan hak dan kewajiban antara kaum lelaki dengan kaum wanita (Al-Baqarah (2):228), keseimbangan pahala atas amal yang telah mereka kerjakan (Al-'Imran (3):195)(Al-Nahl (16):97)(al-Mukmin (40):40), keseimbangan bahagian antara lelaki dan perempuan (Al-Nisaa (4):32), mendapatkan harta waris dari ibu, bapak dan keluarganya (Al- Nisaa (4):7), mendapatkan jaminan untuk masuk ke dalam surga apabila mereka beriman (Al-Nisaa (4):124), dan diberi rahmat oleh Allah Swt (Al-Taubah (9):71).

Sedangkan sumber kedua ajaran Islam adalah al-Hadits. Hadits nabipun banyak yang berbicara tentang hak-hak wanita dan memperhatikan kehidupan mereka, di antara hadits-hadits tersebut adalah sebagai berikut:
1. Nabi Muhammad Saw bersabda: "Yang terbaik di kalangan golongan beriman adalah yang terbaik akhlaknya, dan yang terbaik di kalangan kamu adalah mereka yang terbaik terhadap isterinya."
2. Abu Said al-Khudri meriwayatkan: "Nabi (s.a.w.) berkata: jika seseorang membesarkan tiga orang anak perempuan, mendidik mereka, mengahwinkan mereka dan berbuat baik terhadap mereka, dia akan masuk syurga."
3. Abdullah bin Abbas meriwayatkan: "Nabi (s.a.w.) berkata: Jika seseorang mempunyai seorang anak perempuan dan tidak menanamnya hidup-hidup, atau mengabaikannya, atau melebihkan anak lelakinya daripada anak perempuannya, Allah akan memasukkannya ke dalam syurga."

Dari sini jelas sekali perbedaan antara agama Kristen dengan agama Islam dalam memandang wanita. Oleh sebab itu tidak dibenarkan sikap barat yang menganggap sama antara satu agama dengan agama lainnya. Dan kalau misalkan feminisme itu ditekankan pada persamaan hak antara kaum laki-laki dengan kaum perempuan, maka Islam telah terlebih dahulu mendeklarasikan statemen tersebut ratusan tahun yang lalu, sebagai respon atas budaya arab jahiliyah yang mendiskreditkan kaum wanita. Oleh sebab itu tidak dibenarkan sikap para pemudi Islam yang terlalu menggembor-gemborkan feminisme yang pada dasarnya adalah respon pemudi barat atas sejarah pedihnya di abad pertengahan akibat dominasi agama Kristen.

Wallahu a'lam bishawab.

Isu Formalisasi Syari'at Islam di Indonesia; Menyibak Wacana Yang Sedang Berkembang

Pendahuluan
Kemasyhuran, kemajuan serta super power negara Islam pada masa dahulu yang dikenal dengan sebutan khilafah, menjadi salah satu stereotip dan bukti nyata yang kerapkali dijadikan sebagai argumentasi historis oleh sebagian umat Islam untuk memunculkan kembali bentuk negara yang sudah teruji kedahsyatannya itu. Hasrat dan keinginan untuk menegakan kembali corak negara yang mengait erat dengan hukum Tuhan tersebut barangkali bukanlah hanya sebatas hasrat dan keinginan tanpa adanya kekuatan Rabbani yang menyelimuti jiwa dan nuraninya dan barangkali bukan hanya sekedar pamer omongan kebanggaan terhadap sejarah tanpa keyakinan dan usaha yang gigih, untuk menunjukkan bahwa Islam dalam salah satu wujud aplikatifnya sebagai negara akan berhasil membawa tatanan masyarakat dan struktur sosial kenegaraan ke tangga yang lebih tinggi dan lebih baik dalam kaca mata internasional.

Seiring derasnya arus gerak hasrat dan keinginan mereka untuk menegakkan Syari'at Islam dalam wacana kenegaraan, ada juga beberapa kelompok, baik yang muncul dari dalam tubuh Islam sendiri maupun non Islam yang belum ridlo dan berusaha untuk membendung arus deras itu sampai reda, surut atau bahkan kering. Seperti kelompok liberal yang muncul dari dalam tubuh Islam belum meridlai upaya formalisasi Syari'at Islam dalam lembaga kenegaraan dengan pelbagai argumentasi-argumentasi logis yang mereka ketengahkan. Begitu juga kelompok non muslim yang terkadang mendatangi kelompok Islam yang mengusung upaya penegakkan tersebut untuk mengutarakan ketidaksetujuannya terhadap upaya mereka, seperti yang dilakukan oleh Frans Seda seorang tokoh katolik dan kawan-kawannya dari agama Budha dan agama Protestan. Selain itu, tidak sedikit opini publik yang menyatakan bahwa penegakkan Syari’at Islam belum tentu menjadi solusi dan ‘obat’ yang ‘mengobati’ penyakit yang diderita oleh bangsa Indonesia atau bahkan tidak menutup kemungkinan ada yang mengatakan "jangan-jangan tegaknya Syari'at Islam bukannya menterapi penyakit yang diderita oleh bangsa, akan tetapi malah menjadi tambahan penyakit baginya".

Upaya penegakan Undang-undang Syari'at Islam di Indonesia yang masih berbenturan dengan opini, statement serta argumentasi beberapa kalangan yang penulis sebutkan di atas, tentu sedikit banyak mengumbar pengaruh dan indikasi atau bahkan hambatan mobilisasi upaya formalisasi itu sendiri.

Isu Formalisasi Syariat Islam di Indonesia
Penegakkan Syari'at Islam di Indonesia pada dasarnya sudah ada sejalan dengan masuknya agama Islam itu sendiri, sebab menjalankan ajaran agama Islam merupakan upaya penegakkan Syari'atnya. Hanya saja syari'at itu belum menyentuh 'jantung dan organ tubuh' kenegaraan, artinya hanya sebatas hukum dan nilai-nilai agamis yang diaplikasikan oleh umat Islam saja.
Pada perkembangan selanjutnya, yaitu pada masa perjuangan pembebasan negara Indonesia dari penjajahan Belanda dan Jepang, umat Islam memiliki peran dan andil yang cukup besar dalam memperjuangkan kemerdekaan Bangsa Indonesia hingga berhasil mencapai kemerdekaannya.

Setelah hampir dan sesudah kemerdekaan diperoleh oleh negara yang sebagian besar penduduknya beragama Islam itu, munculah keinginan dari sebagian penganut ajaran Islam untuk mendirikan corak bangsa yang berlabel Syari’at Islam dengan keyakinan bahwa Syari’at Islam akan berhasil membawa Indonesia kepada kemajuan.
Isu keinginan untuk mengadakan formalisasi syari’at Islam sebagai hukum nasional, diantaranya timbul pada saat pelaksanaan sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Saat itu terjadi perdebatan yang cukup hot antara kaum nasionalis dan wakil Islam mengenai ketentuan memasukkan tujuh kata ke dalam sila pertama Pancasila yang berbunyi "Ketuhanan yang maha esa dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluknya" sebagaimana yang termaktub dalam Jakarta chapter atau yang masyhur dikenal dengan istilah piagam Jakarta.

Kemudian muncul pada saat sidang konstituante tahun 1955 -1956 perdebatan yang masih sealur dengan perdebatan yang terjadi pada saat sidang BPUPKI, yaitu keinginan memasukkan Syari’at Islam sebagai bagian hukum negara. Namun karena sering terjadi deadclok dan tidak jadinya rumusan negara, membuat Sukarno Hatta mengambil alih sidang konstituante dan kemudian mengeluarkan dekrit Presiden pada tanggal 5 juli 1959 M, yang membuat upaya memasukkan Syari’at Islam dalam konstitusi itu kandas lagi.

Dan Isu kekinian tentang masalah penegakkan Syari’at Islam dalam lembaga negara timbul lagi di tengah-tengah sidang amandemen UUD 45 yang dilaksanakan pada waktu lalu dimana beberapa kelompok umat Islam mengungkit kembali tentang piagam Jakarta. Selain itu, kita juga dapat melihat gerakan-gerakan yang sedang berusaha keras untuk memasukan Syariah Islam ke dalam konstitusi negara, seperti MMI (Majelis Mujahidin Indonesia). Bahkan ada juga yang memperjuangkan penegakan SI bukan lagi hanya dalam konstitusi, melainkan dengan merubah Negara yang refublik menjadi khilafah, seperti Hizbu Tahrir.

Motif Formalisasi Syari’at Islam di Indonesia
Sebagaimana yang penulis kemukakan di pembukaan tulisan ini, bahwa salah satu motif yang melandasi sebagian umat Islam dalam upaya memformalisasikan Syari’at Islam dalam suatu negara tidak terlepas dari stereotip dan historis kemajuan daulah islamiyah pada massa dahulu, dan pemahaman konstruktif yang diberikan oleh sumber ajaran agam Islam; al-Quran dan al-Hadits mengenai prinsip-prinsip dalam sebuah kekuasaan, mulai dari sifat-sifat seorang pemimpin sampai etika dalam bidang mu’amalah masyarakat. Selain itu juga pemahaman dan keyakinan penganut ajaran Islam terhadap konfrehensifitas al-Quran mengambil ‘sisi bidang’ yang cukup besar dalam proyek formalisasi Syariat Islam itu sendiri.

Negara Indonesia, sebagaimana yang kita ketahui bersama adalah negara yang menganut faham hukum berlandaskan UUD (Undang-Undang Dasar) 45. Maka secara konsistensi, Indonesia harus senantiasa mengikuti dan mengaplikasikan faham-faham hukum yang dilahirkannya. Dalam bidang agama, tentu pemerintah harus merujuk pada undang-undang dasar 45 pasal 29 ayat 1 dan 2 sebagai ketentuan hukum yang mengatur peribadatan umat beragama di Indonesia.

UUD 45 Pasal 29 ayat 1 yang berbunyi "Negara berkewajiban untuk mengatur dan mengawasi agar warga negara Indonesia menjalankan ibadah sesuai dengan ajaran agama masing-masing", yang ditafsirkan oleh Prof. Dr. Huzairin dalam tiga tafsiran; yang pertama, negara RI tidak boleh ada aturan yang bertolak belakang dengan syari’at agama. Yang kedua, negara RI wajib menjalankan Syari’at Islam bagi umat Islam, syari’at Nasrani bagi kaum Nasrani dan seterusnya. Sepanjang pelaksanaannya memerlukan bantuan kekuasaan negara. Dan yang ketiga, setiap pemeluk agama wajib menjalankan secara privasi syari’at agamanya masing-masing dalam hal-hal yang tidak memerlukan bantuan negara.

Dan UUD 45 pasal 29 ayat 2 yang berbunyi "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu". Ustadz Abu Bakar Basyir mengatakan, bahwa undang-undang tidak memberi tafsiran pada kata ibadah dalam UUD 45 pasal 29 ayat 2 tersebut, maka menurut beliau –MMI- segala perkataan dan perbuatan yang diridlai oleh Allah SWT adalah ibadah. Dan Ibadah yang sempurna dalam agama Islam adalah menjalankan Syari’at Islam secara kaffah, sedang pelaksanaan syari’at secara kaffah itu tidak akan bisa dilaksanakan kecuali dengan mendirikan "daulah islamiyah".

Begitupula pengaruh kata dien yang tidak hanya difahami sebagai agama yang hanya condong pada masalah ritual, namun lebih dititik beratkan kepada undang-undang atau aturan yang mengatur hidup. Dalam hal ini KUHP pun bisa dikatakan dien, sebab ia adalah aturan yang bertujuan mengatur kehidupan suatu komunitas atau publik. Dan aturan itu ada yang hak dan ada juga yang bathil, aturan yang hak itu hanya ada pada agama Islam sebagai agama yang diridlai oleh Allah SWT yang maha luas ilmu-Nya, sedangkan aturan yang bathil adalah aturan hasil buatan manusia yang berpotensi 100 persen salah atau yang bercampur baur antara yang hak dan yang bathil.

Selain itu ketua Tanfidziyah Majelis Mujahiddin Indonesia; H. Irfan Suryahardi Awwas mengatakan, bahwa sekurang-kurangnya terdapat tiga alasan yang mendasari upaya formalisasi Syari’at Islam sebagai hukum nasional di Indonesia, yaitu :
1. Pelaksanaan Syari’at Islam secara kaffah merupakan ibadah sekaligus kewajiban kolektif umat Islam yang merupakan umat mayoritas negeri ini. Pelaksanaan Syari’ah Islam secara kaffah hanya dapat dilaksanakan melalui kekuasaan negara, tidak cukup dalam lingkup pribadi dan keluarga saja.
2. Lembaga negara merupakan lembaga yang mempunyai otoritas dan kewenangan mengatur masyarakat untuk melaksanakan Syari’at Islam yang berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.
3. Formalisasi syari’at Islam di dalam lembaga negara merupakan hak yuridis konstitusional umat Islam yang dijamin oleh UUD 45 pasal 29, ayat 1 dan 2 serta Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959, yang hingga saat ini masih dinyatakan berlaku.

Mengenal Aliran dan Model Formalisasi Syari’at Islam di Indonesia
Di Indonesia sebagaimana juga yang dinyatakan oleh Dr. Haedar Nashir, terdapat tiga aliran yang menyuarakan penegakkan Syari’at Islam sebagai hukum yang termaktub dalam konstitusi perundang-undangan dengan model strata regional-nasional yang berbeda, yaitu :
1. Aliran yang hendak menegakkan Syari’at Islam dalam ‘organ tubuh negara’ dengan mengganti secara konfrehensip dasar, bentuk dan hukum negara. Yaitu dari bentuk negara republik dan dasar Pancasila menjadi khilafah. Aliran ini diwakili oleh kelompok Hizbu Tahrir
2. Aliran yang hendak menegakkan Syari’at Islam sebagai bagian dari hukum nasional, tanpa mengubah dasar dan bentuk negara. Aliran ini diusung oleh MMI (Majelis Mujahidin Indonesia)
3. Aliran yang hendak menegakkan Syari’at Islam hanya dalam ‘wahana’ daerah melalui otonomi daerah yang diberikan oleh negara, karena dirasa terlalu berat menegakkan syari’at Islam dalam strata nasional. Aliran ini diwakili oleh KPSI (Komite Penegakkan Syari’at Islam).

Tujuan Formalisasi Syari’at Islam
Penegakkan Syari’at Islam bertujuan sebagaimana tujuan agama Islam ‘diterbitkan’ di tengah suatu komunitas, yaitu :
1. Hifdzu dien, menjaga agama Islam itu sendiri dari upaya-upaya destruktif yang digencarkan oleh non muslim.
2. Hifdzu ‘akl, menjaga akal dari hal-hal yang dapat merusaknya, seperti dengan pelarangan minum-minuman keras dan sebagaimnya.
3. Hifdzu nasl, menjaga keturunan dengan pelarangan sex bebas, prostitusi dan penerapan undang-undang perkawinan.
4. Hifdzul mal, menjaga harta dalam dua aspek, yaitu menjaga keamanan harta itu sendiri dan kebersihan atau kehalalannya dengan berzakat.
Hifdzu nafs, menjaga jiwa, terutama dalam hal moral.

Penutup
Demikianlah sekelumit uraian seputar formalisasi Syari’at Islam di Indonesia yang sampai saat ini masih dalam proses sosialisasi. Namun agaknya gerakan formalisasi yang saat ini terlihat dan disorot oleh kebanyakan orang yaitu gerakan yang diusung oleh MMI (Majelis Mujahidin Indonesia), KPSI (Komite Penegakan Syari’at Islam) dan FPI yang mengeluarkan perda anti maksiat yang sudah sedikit banyak mengurangi praktek maksiat.
Dengan demikian apakah dalam short time (waktu dekat) ini formalisasi Syari’at Islam akan terwujud ke ‘permukaan bumi’ negara Indonesia, ataukah masih memerlukan long time (waktu yang panjang) untuk mewujudkan cita-cita ini, atau bahkan never be (tidak pernah sama sekali) terwujud karena hambatan-hambatan yang digencarkan oleh pelbagai kalangan yang menolak akan upaya formalisasi itu.

Wallahu a’lam bishawab


Bahan Bacaan
1. Irfan Suryahardi Awas. Implementasi Syari’at Islam Dalam Perspektif Hukum dan Politik di Indonesia. Swaramuslim.net. 13 agustus 2006.
2. Assaukani. Sikap beragama yang moderat dan fundamentalis. Assaukani.com. 24 mei 2006.
3. Ali Asyraf NF. Depolitisasi Syari’at Islam. Islamlib.com. 4 maret 2007.
4. Redaksi Swaramuslim. Menolak Syari’at Karena bertambahnya Ilmu. Swaramuslim.com. 24 januari 2007.
5. Suhadi Cholil. Pholitic is a language game: adakah perda Syari’at itu. Parasindonesia.com. 25 juni 2006.
6. Tatang Astarudin. Perda Syari’at; Aspirasi Masyarakat Daerah?. File pdf.

Falsafah Awal dan Respon Positif

Awal adalah hal yang sangat berharga dan bersejarah bagi kehidupan anak manusia. Dikatakan berharga karena darinya berawal segala keberhasilan dan kesuksesan, meskipun tidak sedikit orang yang gagal karena tidak dapat menggunakan awalnya secara proporsional. Dan dikatakan bersejarah karena dari awal itu akan terbentuk bagaimana dan apa manusia itu, sebagaimana sabda nabi Muhammad saw.: "Sesungguhnya anak manusia dilahirkan dalam keadaan fithroh, kemudian orang tuanya yang menjadikannya nasrani atau yahudi atau majusi". Begitupula awal adalah hal yang lazim bagi kita, terutama bagi orang yang selalu ingin bergerak untuk mendapatkan hal-hal yang variatif, misalkan kita ingin mendapatkan spesifikasi atau takhosus ilmu dalam bidang tafsir, maka mau tidak mau kita harus berani mulai untuk memegang buku-buku yang bercorak tafsir, seperti Madkhol Fi ‘ulum at-Tafsir dan bentuk instan tafsir al-Quran tersebut, kemudian selain spesifik dalam bidang tafsir al-Quran kita juga hendak mendalami ilmu komputerisasi, maka mau tidak mau juga kita harus berani memulai untuk mempelajari hal-hal yang bebau komputerisasi, baik melalui buku-buku maupun melalui eksperimen-ekperimen. Lalu selain ingin menguasai ilmu tafsir dan komputerisasi, kita juga berhasrat untuk mendalami ilmu bahasa arab, maka sekali lagi kita harus mulai untuk menghapal kosa kata bahasa arab, melafalkan serta mempelajari ilmu alat yaitu nahwu dan shorof, begitupula seterusnya.

Dengan kalimat yang singkat penulis dapat menyatakan bahwa ‘awal bukan segalanya, akan tetapi semua berawal dari awal’. Awal bukan segalanya, sebab ia hanyalah lahan kosong yang siap untuk diisi, nah proses mengisi dan isinya ini yang sebetulnya berarti, proses mengisi itu sebagai suatu bentuk pembelajaran dan konsep, sedang isi itu adalah hasilnya. Hingga apabila kita banyak mengisi lahan kosong tersebut, kita semakin kaya akan konsep pembelajaran dan hasil yang didapat ‘semua berasal dari awal’.

Akan tetapi kebanyakan kita condong mengisi waktu awal dengan hal-hal yang sifatnya perayaan, hura-hura, happy-happy dan yang amat disayangkan tidak ada tujuan yang lain selain itu, seperi yang sering terjadi pada awal tahun alias tahun baru terutama tahun baru masehi, tidak sedikit orang yang datang berduyun-duyun ke tempat-tempat wisata seperti pantai dan sebangsanya untuk bersenang-senang dengan pasangan atau hanya enjoy menikmati keramaian. Padahal kalau kita perhatikan tahun baru merupakan salah satu momentum untuk menggerakan semangat dan jiwa baru dalam beraktifitas, sehingga hasil yang diperolehpun segar sesegar aktifitas yang dikerjakan. Oleh sebab itu sangat disayangkan apabila momentum yang penting ini tidak diisi dengan hal-hal yang sifatnya produktif untuk diri dan umat.

Maka dari itu kita sebagai insan yang selalu mengharap kebagusan dan keindahan hendaknya menggunakan kesempatan yang berharga ini untuk melakukan hal-hal yang positif guna mencapai hasil yang produktif dan maslahat bagi diri sendiri serta orang lain, di bawah ini penulis sedikit memberi terapi untuk bagaimana menggunakan waktu khususnya di momen awal tahun baru Hijriyah ini, dan barangkali di setiap awal momen hidup anda.

Memperbaharui niat
Yang pertama adalah memperbaharui niat untuk mencapai target yang membangun kemajuan dan perkembangan diri di tahun yang baru ini. Rasulullah saw. bersabda: "Sesungguhnya perbuatan itu tergantung niat". Ada beberapa hal yang mesti kita catat dalam hal niat, yang pertama niat hendaknya menumbuhkan konsekwensi perbuatan yang kita kerjakan, sebab tanpa konsekwensi itu niat akan hanya sebatas niat tanpa pengaruh yang berarti bagi yang berniat, namun apabila itu terjadi, maka eksistensi kapasitas serta barometer niat dalam diri kita mesti kita pertanyakan. Pentingnya konsekwensi dalam tubuh perbuatan sebagai penghantar pada orientasi serta tujuan yang ingin kita capai, seperti kita berniat untuk memajukan keilmuan di tahun yang baru ini, maka konsekwensi perbuatan kita adalah belajar dengan jalan menghadiri kuliah universitas, ditunjang dengan autodidak, pengajian serta talaqi-talaqi non kuliah. Yang kedua niat dapat menumbuhkan semangat dan dorongan spiritual, karena selain target atau tujuan ""ardiy" yaitu membangun kemajuan dan perkembangan diri yang hendak dicapai oleh yang berniat, pun terdapat tujuan transendental yaitu kerihaan Allah swt. Dan yang ke tiga niat menciptakan suasana harmonis, tenang dan damai dalam diri yang berniat. Sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa hal yang banyak dikhawatirkan oleh kebanyakan anak adam adalah kegagalan, akan tetapi sebagaimana penulis tuturkan di atas bahwa terdapat tujuan rabbaniyah di dalam niat yaitu Allah sang Pencipta alam semesta, maka yang tepenting bagi orang yang berniat adalah menggapai tujuan yang transendental itu dengan berikhtiyar meskipun terkadang tujuan ardiynya belum tercapai, hingga dia merasa tentram meskipun dalam keadaan seperti itu.

Menilik sejarah dan mematangkan langkah
Terapi yang ke dua adalah menilik sejarah dan mematangkan langkah berdasar fakta sejarah dan proporsionalitas dengan masa yang akan datang. Allah SWT berfirman dalam al-Quran yang artinya "sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal" (Q.S Yusuf : 111). Menurut Hj. Irene Handono bahwa ayat ini adalah isyarat yang menunjukan kepada kita untuk mempelajari dan memahami sejarah. Setiap masing-masing orang tentu memiliki sejarah dalam hidupnya seperti dalam pergaulan, pendidikan, akademis, organisasi, bermasyarakat atau bersosialisasi, berbangsa atau bernegara dan lain sebagainya. Maka melalui i’tibar di atas seyogyanya dua sejarah yang harus senantiasa kita tilik yaitu sejarah diri dengan cara mengambil hal-hal yang positif yang pernah kita rasakan dan menjauhi hal-hal negatif yang pernah kita lakukan. Dan sejarah orang lain meliputi kaum-kaum serta jaman-jaman pada masa lalu dengan jalan megambil pelajaran. Selain menilik sejarah, kita juga harus senantiasa memandang ke depan agar kita tidak ketinggalan jaman atau yang mashur dikenal dengan kuper – kurang pergaulan – , atau tertinggal dengan kemajuan teknologi, atau kemajuan konsep berfikir, atau kemajuan dalam melejitkan bakat diri. Lalu kemudian membentuk konsep serta metode yang menggabungkan dan mempertemukan antara i’tibar sejarah dengan kemajuan jaman. dengan tujuan tidak salah langkah dan acceptable dengan realita yang terjadi.

Membuat program
Selain terapi pertama dan ke dua yaitu niat serta menilik sejarah dan mematangkan langkah, terapi yang ke tiga adalah membuat program jangka panjang dan program jangka pendek. program jangka panjang harus diformat secara komprehensif, sebab program jangka panjang adalah program akhir yang akan dituju oleh kita. Sedang program jangka pendek disusun sebagai spesifikasi dari aktifitas-aktifitas jangka panjang yang bertujuan untuk menyokong program jangka panjang tersebut. oleh karena itu ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan dalam membuat program ini, yang pertama program jangka panjang harus memiliki skala yang besar baik dari segi faidah maupun tujuannya, yaitu seperti untuk diri sendiri, orang lain, masyarakat, bangsa dan agama. Yang ke dua adalah persesuaian antara program jangka pendek dengan program jangka panjang, artinya program jangka pendek harus menjadi tarjamah aplikatif dalam skala kecil untuk membangun dan menyusun program jangka panjang yang berskala besar, supaya jangan sampai program jangka pendek itu bersimpangan jalan dengan program jangka panjang hingga tidak mengena pada tujuan yang diprioritaskan. Dan yang terakhir adalah keakuratan menejmen, hingga hasil yang dicapai mengena tepat pada titiknya.

Konsistensi dan kontinuitas
Terapi yang terakhir adalah konsisten dalam melaksanakan terapi yang pertama, ke dua dan ke tiga yaitu niat, menilik sejarah dan mematangkan langkah dan membuat program jangka panjang dan jangka pendek serta kontinu atau berkesinambungan dalam mengamalkan program-program yang telah dicanangkan itu. Dua hal ini sangat penting sekali ada dalam tubuh indiviu dalam membentuk setiap menejmen, sebab tercapai atau tidak tercapainya suatu target, hasil atau tujuan bergantung pada seberapa besar kapasitas serta barometer konsistensi dan kontinuitas kita dalam mengamalkan apa yang sudah kita format.