Thursday, March 20, 2008

Isu Formalisasi Syari'at Islam di Indonesia; Menyibak Wacana Yang Sedang Berkembang

Pendahuluan
Kemasyhuran, kemajuan serta super power negara Islam pada masa dahulu yang dikenal dengan sebutan khilafah, menjadi salah satu stereotip dan bukti nyata yang kerapkali dijadikan sebagai argumentasi historis oleh sebagian umat Islam untuk memunculkan kembali bentuk negara yang sudah teruji kedahsyatannya itu. Hasrat dan keinginan untuk menegakan kembali corak negara yang mengait erat dengan hukum Tuhan tersebut barangkali bukanlah hanya sebatas hasrat dan keinginan tanpa adanya kekuatan Rabbani yang menyelimuti jiwa dan nuraninya dan barangkali bukan hanya sekedar pamer omongan kebanggaan terhadap sejarah tanpa keyakinan dan usaha yang gigih, untuk menunjukkan bahwa Islam dalam salah satu wujud aplikatifnya sebagai negara akan berhasil membawa tatanan masyarakat dan struktur sosial kenegaraan ke tangga yang lebih tinggi dan lebih baik dalam kaca mata internasional.

Seiring derasnya arus gerak hasrat dan keinginan mereka untuk menegakkan Syari'at Islam dalam wacana kenegaraan, ada juga beberapa kelompok, baik yang muncul dari dalam tubuh Islam sendiri maupun non Islam yang belum ridlo dan berusaha untuk membendung arus deras itu sampai reda, surut atau bahkan kering. Seperti kelompok liberal yang muncul dari dalam tubuh Islam belum meridlai upaya formalisasi Syari'at Islam dalam lembaga kenegaraan dengan pelbagai argumentasi-argumentasi logis yang mereka ketengahkan. Begitu juga kelompok non muslim yang terkadang mendatangi kelompok Islam yang mengusung upaya penegakkan tersebut untuk mengutarakan ketidaksetujuannya terhadap upaya mereka, seperti yang dilakukan oleh Frans Seda seorang tokoh katolik dan kawan-kawannya dari agama Budha dan agama Protestan. Selain itu, tidak sedikit opini publik yang menyatakan bahwa penegakkan Syari’at Islam belum tentu menjadi solusi dan ‘obat’ yang ‘mengobati’ penyakit yang diderita oleh bangsa Indonesia atau bahkan tidak menutup kemungkinan ada yang mengatakan "jangan-jangan tegaknya Syari'at Islam bukannya menterapi penyakit yang diderita oleh bangsa, akan tetapi malah menjadi tambahan penyakit baginya".

Upaya penegakan Undang-undang Syari'at Islam di Indonesia yang masih berbenturan dengan opini, statement serta argumentasi beberapa kalangan yang penulis sebutkan di atas, tentu sedikit banyak mengumbar pengaruh dan indikasi atau bahkan hambatan mobilisasi upaya formalisasi itu sendiri.

Isu Formalisasi Syariat Islam di Indonesia
Penegakkan Syari'at Islam di Indonesia pada dasarnya sudah ada sejalan dengan masuknya agama Islam itu sendiri, sebab menjalankan ajaran agama Islam merupakan upaya penegakkan Syari'atnya. Hanya saja syari'at itu belum menyentuh 'jantung dan organ tubuh' kenegaraan, artinya hanya sebatas hukum dan nilai-nilai agamis yang diaplikasikan oleh umat Islam saja.
Pada perkembangan selanjutnya, yaitu pada masa perjuangan pembebasan negara Indonesia dari penjajahan Belanda dan Jepang, umat Islam memiliki peran dan andil yang cukup besar dalam memperjuangkan kemerdekaan Bangsa Indonesia hingga berhasil mencapai kemerdekaannya.

Setelah hampir dan sesudah kemerdekaan diperoleh oleh negara yang sebagian besar penduduknya beragama Islam itu, munculah keinginan dari sebagian penganut ajaran Islam untuk mendirikan corak bangsa yang berlabel Syari’at Islam dengan keyakinan bahwa Syari’at Islam akan berhasil membawa Indonesia kepada kemajuan.
Isu keinginan untuk mengadakan formalisasi syari’at Islam sebagai hukum nasional, diantaranya timbul pada saat pelaksanaan sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Saat itu terjadi perdebatan yang cukup hot antara kaum nasionalis dan wakil Islam mengenai ketentuan memasukkan tujuh kata ke dalam sila pertama Pancasila yang berbunyi "Ketuhanan yang maha esa dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluknya" sebagaimana yang termaktub dalam Jakarta chapter atau yang masyhur dikenal dengan istilah piagam Jakarta.

Kemudian muncul pada saat sidang konstituante tahun 1955 -1956 perdebatan yang masih sealur dengan perdebatan yang terjadi pada saat sidang BPUPKI, yaitu keinginan memasukkan Syari’at Islam sebagai bagian hukum negara. Namun karena sering terjadi deadclok dan tidak jadinya rumusan negara, membuat Sukarno Hatta mengambil alih sidang konstituante dan kemudian mengeluarkan dekrit Presiden pada tanggal 5 juli 1959 M, yang membuat upaya memasukkan Syari’at Islam dalam konstitusi itu kandas lagi.

Dan Isu kekinian tentang masalah penegakkan Syari’at Islam dalam lembaga negara timbul lagi di tengah-tengah sidang amandemen UUD 45 yang dilaksanakan pada waktu lalu dimana beberapa kelompok umat Islam mengungkit kembali tentang piagam Jakarta. Selain itu, kita juga dapat melihat gerakan-gerakan yang sedang berusaha keras untuk memasukan Syariah Islam ke dalam konstitusi negara, seperti MMI (Majelis Mujahidin Indonesia). Bahkan ada juga yang memperjuangkan penegakan SI bukan lagi hanya dalam konstitusi, melainkan dengan merubah Negara yang refublik menjadi khilafah, seperti Hizbu Tahrir.

Motif Formalisasi Syari’at Islam di Indonesia
Sebagaimana yang penulis kemukakan di pembukaan tulisan ini, bahwa salah satu motif yang melandasi sebagian umat Islam dalam upaya memformalisasikan Syari’at Islam dalam suatu negara tidak terlepas dari stereotip dan historis kemajuan daulah islamiyah pada massa dahulu, dan pemahaman konstruktif yang diberikan oleh sumber ajaran agam Islam; al-Quran dan al-Hadits mengenai prinsip-prinsip dalam sebuah kekuasaan, mulai dari sifat-sifat seorang pemimpin sampai etika dalam bidang mu’amalah masyarakat. Selain itu juga pemahaman dan keyakinan penganut ajaran Islam terhadap konfrehensifitas al-Quran mengambil ‘sisi bidang’ yang cukup besar dalam proyek formalisasi Syariat Islam itu sendiri.

Negara Indonesia, sebagaimana yang kita ketahui bersama adalah negara yang menganut faham hukum berlandaskan UUD (Undang-Undang Dasar) 45. Maka secara konsistensi, Indonesia harus senantiasa mengikuti dan mengaplikasikan faham-faham hukum yang dilahirkannya. Dalam bidang agama, tentu pemerintah harus merujuk pada undang-undang dasar 45 pasal 29 ayat 1 dan 2 sebagai ketentuan hukum yang mengatur peribadatan umat beragama di Indonesia.

UUD 45 Pasal 29 ayat 1 yang berbunyi "Negara berkewajiban untuk mengatur dan mengawasi agar warga negara Indonesia menjalankan ibadah sesuai dengan ajaran agama masing-masing", yang ditafsirkan oleh Prof. Dr. Huzairin dalam tiga tafsiran; yang pertama, negara RI tidak boleh ada aturan yang bertolak belakang dengan syari’at agama. Yang kedua, negara RI wajib menjalankan Syari’at Islam bagi umat Islam, syari’at Nasrani bagi kaum Nasrani dan seterusnya. Sepanjang pelaksanaannya memerlukan bantuan kekuasaan negara. Dan yang ketiga, setiap pemeluk agama wajib menjalankan secara privasi syari’at agamanya masing-masing dalam hal-hal yang tidak memerlukan bantuan negara.

Dan UUD 45 pasal 29 ayat 2 yang berbunyi "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu". Ustadz Abu Bakar Basyir mengatakan, bahwa undang-undang tidak memberi tafsiran pada kata ibadah dalam UUD 45 pasal 29 ayat 2 tersebut, maka menurut beliau –MMI- segala perkataan dan perbuatan yang diridlai oleh Allah SWT adalah ibadah. Dan Ibadah yang sempurna dalam agama Islam adalah menjalankan Syari’at Islam secara kaffah, sedang pelaksanaan syari’at secara kaffah itu tidak akan bisa dilaksanakan kecuali dengan mendirikan "daulah islamiyah".

Begitupula pengaruh kata dien yang tidak hanya difahami sebagai agama yang hanya condong pada masalah ritual, namun lebih dititik beratkan kepada undang-undang atau aturan yang mengatur hidup. Dalam hal ini KUHP pun bisa dikatakan dien, sebab ia adalah aturan yang bertujuan mengatur kehidupan suatu komunitas atau publik. Dan aturan itu ada yang hak dan ada juga yang bathil, aturan yang hak itu hanya ada pada agama Islam sebagai agama yang diridlai oleh Allah SWT yang maha luas ilmu-Nya, sedangkan aturan yang bathil adalah aturan hasil buatan manusia yang berpotensi 100 persen salah atau yang bercampur baur antara yang hak dan yang bathil.

Selain itu ketua Tanfidziyah Majelis Mujahiddin Indonesia; H. Irfan Suryahardi Awwas mengatakan, bahwa sekurang-kurangnya terdapat tiga alasan yang mendasari upaya formalisasi Syari’at Islam sebagai hukum nasional di Indonesia, yaitu :
1. Pelaksanaan Syari’at Islam secara kaffah merupakan ibadah sekaligus kewajiban kolektif umat Islam yang merupakan umat mayoritas negeri ini. Pelaksanaan Syari’ah Islam secara kaffah hanya dapat dilaksanakan melalui kekuasaan negara, tidak cukup dalam lingkup pribadi dan keluarga saja.
2. Lembaga negara merupakan lembaga yang mempunyai otoritas dan kewenangan mengatur masyarakat untuk melaksanakan Syari’at Islam yang berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.
3. Formalisasi syari’at Islam di dalam lembaga negara merupakan hak yuridis konstitusional umat Islam yang dijamin oleh UUD 45 pasal 29, ayat 1 dan 2 serta Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959, yang hingga saat ini masih dinyatakan berlaku.

Mengenal Aliran dan Model Formalisasi Syari’at Islam di Indonesia
Di Indonesia sebagaimana juga yang dinyatakan oleh Dr. Haedar Nashir, terdapat tiga aliran yang menyuarakan penegakkan Syari’at Islam sebagai hukum yang termaktub dalam konstitusi perundang-undangan dengan model strata regional-nasional yang berbeda, yaitu :
1. Aliran yang hendak menegakkan Syari’at Islam dalam ‘organ tubuh negara’ dengan mengganti secara konfrehensip dasar, bentuk dan hukum negara. Yaitu dari bentuk negara republik dan dasar Pancasila menjadi khilafah. Aliran ini diwakili oleh kelompok Hizbu Tahrir
2. Aliran yang hendak menegakkan Syari’at Islam sebagai bagian dari hukum nasional, tanpa mengubah dasar dan bentuk negara. Aliran ini diusung oleh MMI (Majelis Mujahidin Indonesia)
3. Aliran yang hendak menegakkan Syari’at Islam hanya dalam ‘wahana’ daerah melalui otonomi daerah yang diberikan oleh negara, karena dirasa terlalu berat menegakkan syari’at Islam dalam strata nasional. Aliran ini diwakili oleh KPSI (Komite Penegakkan Syari’at Islam).

Tujuan Formalisasi Syari’at Islam
Penegakkan Syari’at Islam bertujuan sebagaimana tujuan agama Islam ‘diterbitkan’ di tengah suatu komunitas, yaitu :
1. Hifdzu dien, menjaga agama Islam itu sendiri dari upaya-upaya destruktif yang digencarkan oleh non muslim.
2. Hifdzu ‘akl, menjaga akal dari hal-hal yang dapat merusaknya, seperti dengan pelarangan minum-minuman keras dan sebagaimnya.
3. Hifdzu nasl, menjaga keturunan dengan pelarangan sex bebas, prostitusi dan penerapan undang-undang perkawinan.
4. Hifdzul mal, menjaga harta dalam dua aspek, yaitu menjaga keamanan harta itu sendiri dan kebersihan atau kehalalannya dengan berzakat.
Hifdzu nafs, menjaga jiwa, terutama dalam hal moral.

Penutup
Demikianlah sekelumit uraian seputar formalisasi Syari’at Islam di Indonesia yang sampai saat ini masih dalam proses sosialisasi. Namun agaknya gerakan formalisasi yang saat ini terlihat dan disorot oleh kebanyakan orang yaitu gerakan yang diusung oleh MMI (Majelis Mujahidin Indonesia), KPSI (Komite Penegakan Syari’at Islam) dan FPI yang mengeluarkan perda anti maksiat yang sudah sedikit banyak mengurangi praktek maksiat.
Dengan demikian apakah dalam short time (waktu dekat) ini formalisasi Syari’at Islam akan terwujud ke ‘permukaan bumi’ negara Indonesia, ataukah masih memerlukan long time (waktu yang panjang) untuk mewujudkan cita-cita ini, atau bahkan never be (tidak pernah sama sekali) terwujud karena hambatan-hambatan yang digencarkan oleh pelbagai kalangan yang menolak akan upaya formalisasi itu.

Wallahu a’lam bishawab


Bahan Bacaan
1. Irfan Suryahardi Awas. Implementasi Syari’at Islam Dalam Perspektif Hukum dan Politik di Indonesia. Swaramuslim.net. 13 agustus 2006.
2. Assaukani. Sikap beragama yang moderat dan fundamentalis. Assaukani.com. 24 mei 2006.
3. Ali Asyraf NF. Depolitisasi Syari’at Islam. Islamlib.com. 4 maret 2007.
4. Redaksi Swaramuslim. Menolak Syari’at Karena bertambahnya Ilmu. Swaramuslim.com. 24 januari 2007.
5. Suhadi Cholil. Pholitic is a language game: adakah perda Syari’at itu. Parasindonesia.com. 25 juni 2006.
6. Tatang Astarudin. Perda Syari’at; Aspirasi Masyarakat Daerah?. File pdf.

No comments: