Monday, March 24, 2008

Mengenal Belenggu-Belenggu Akal; Refleksi Jiwa yang Peka

Akal adalah anugerah Allah Swt. bagi manusia, yang memiliki peran penting bagi kehidupan manusia itu sendiri dan makhluk-makhluk-Nya yang lain terutama dalam hal pemeliharaan dan pemanfaatan serta kemajuan dan perkembangannya. Kalau kita menilik sisi penciptaan akal itu sendiri, kita akan mengetahui bahwa ia adalah salah satu ciptaan dari ciptaan-ciptaan Allah SWT yang dimuliakan oleh-Nya. Sebagaimana dikisahkan dalam Hadits Qudsi sebagai berikut: ‘pada suatu masa setelah Allah SWT menciptakan akal, Dia berfirman kepadanya, wahai akal tahukah engkau? Bahwa sesungguhnya Aku belum pernah menciptakan makhluk yang mulia seperti engkau. Kemudian akal menjawab, sesungguhnya di dunia ini tidak ada yang mulia melainkan Engkau ya Allah. Kemudian Allah SWT bertanya, siapakah Tuhanmu? Kemudian akal menjawab, Engkau adalah Tuhanku. Kemudian Allah memerintahkan pada akal, menghadaplah engkau ke belakang, kemudian akal menghadap kebelakang. Dan Allah memerintahkan kembali untuk menghadap ke sebelah kanan, akal pun mematuhi apa yang Allah perintahkan.’

Akal pula merupakan salah satu wasilah atau perantara yang dapat digunakan oleh manusia untuk sampai kepada Tuhannya yang Agung dengan jalan mentadaburi alam. Sebagaimana firman Allah SWT :

‘Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta silih bergantinya malam dan siang benar-benar menjadi bukti (eksistensi dan kebesaran Allah SWT) bagi ulil albab’
(Q.S. Al-imran:190)

Ayat tersebut di atas telah jelas sekali menunjukkan bahwa alam raya ini adalah ladang garapan bagi manusia yang berakal untuk sampai pada Robbnya, sebagai tempat kembali yang hakiki dan sebagai tujuan penciptaan manusia itu sendiri.

Dalam mengarungi bahtera hidup ini, manusia kerapkali tidak pernah luput dari kehidupan sosial terutama dalam hal interaksi antara satu dengan yang lainnya, sebab hal tersebut sudah menjadi suatu kebutuhan asasi bagi mereka, seperti dalam hal perdagangan, sudah menjadi keniscayaan kiranya bahwa perdagangan tidak dapat dilakukan apabila hanya terdapat satu individu saja di dalamnya, misalkan hanya ada penjual atau pembelinya saja. Melainkan perdagangan dilakukan oleh dua orang atau lebih, yang satu berfungsi sebagai penjual dan yang lainnya berfungsi sebagai pembeli, maka perdagangan dapat dilaksanakan. Selain itu interaksi manusia dengan makhluk-makhluk lain seperti hewan, tumbuhan dan sebagainya merupakan hal yang lumrah bagi mereka, baik untuk memenuhi kebutuhan mereka maupun untuk hanya sebatas benda kesayangan. dan tentunya dalam menejemen interaksi tersebut - interaksi antara manusia dengan manusia serta antara manusia dengan hewan, tumbuhan dan sebagainya – manusia membutuhkan akal agar terjalin proporsionalitas sikap.

Akal memiliki peran yang sangat penting bagi kehidupan manusia, di antara peran tersebut adalah; menata diri maupun lingkungan berdasarkan menejmen dan konsep yang tertata agar tercipta keindahan yang dapat dinikmati oleh diri sendiri maupun publik, memahami dan mengambil pelajaran dari tanda-tanda eksistensi dan kekuasaan Allah Swt. yang tertebar di alam raya ini. Serta merajut pemahaman kejiwaan dan muamalah seperti psikologi dan emosional
­­­­­­­­­
Namun akal tidak akan dapat berperan dengan efektif apabila terdapat perintang atau benteng yang menghalangi kinerjanya. Rintangan dan benteng tersebut sebetulnya berasal berpangkal dari aktifitas manusia itu sendiri, akan tetapi kebanyakan kita tidak mengakui atau bahkan tidak merasa bahwa kitalah sebetulnya pelaku yang menimbulkannya. Di samping itu kita juga jarang sekali mengkritisi aktifitas yang kita lakukan, yang menyebabkan keterpurukan diri kita di dalam kesalahan yang kita buat sendiri, akibatnya bukan hanya fikiran, namun juga hati dan diri kita hampa tanpa isi. Oleh sebab itu sudah menjadi suatu keniscayaan bagi kita untuk mengenal beberapa belenggu yang dekat sekali dengan kita dan barangkali sikap langganan yang kita lakukan.

1. Berburuk Sangka

Berburuk sangka atau yang sering kita dengar dengan istilah Su’u Dzon yaitu menganggap buruk sikap, pemikiran dan perbuatan orang lain. Sebagai contoh, saya pernah diminta menemani dua orang anak kecil - kakak beradik – untuk membeli makanan di tempat yang biasa saya kunjungi, setelah kami sampai dan memesan makanan tersebut di sana, ada seorang laki-laki setengah baya memanggil-manggil adik kecil dari kakak beradik tersebut, saya ketika itu sempat beranggapan dia hendak menculik adik kecil itu, saya dengan diam-diam membuntutinya berjalan menuju panggilan orang itu dengan kesiapan yang luar biasa untuk menghantam orang itu, kalau ternyata benar ia ingin menculiknya, tetapi ternyata ia hanya ingin memberikan permen kepadanya. Dari sini kita dapat mengambil i'tibar bahwa su'u dzon dapat membentengi interaksi positif antara sesama manusia dan dapat membelenggu fikirannya, sebab hari-harinya dipenuhi dengan prasangka-prasangka yang menghimpit pemikiran dan mempersempit gerak.

Orang yang berburuk sangka cenderung sempit dalam hidupnya, karena dunia ini ia nikmati dikala ia tidak bertemu dengan orang-orang yang yang ia anggap buruk perangai, sikap serta fikiran terhadapnya dan juga tidak menikmati nikmat yang Allah Swt. anugerahkan kepadanya, padahal bisa jadi ia terlalu mengedepankan pandangan subjektifnya terhadap orang lain, yang berdampak pada gerak aktifitasnya sendiri dan menutupi anugerah yang Allah karuniakan untuknya. Selain itu orang yang berburuk sangka juga penulis katakan rugi. Sebab seseorang yang hendak memberikan keuntungan kepadanya tidak akan pernah sampai, dikarenakan penghindarannya terhadap khalayak ramai. Sebagai contoh seorang pelajar SMA yang bermasalah dengan gurunya, ia menganggap bahwa gurunya selalu bersikap keras dan kurang proporsional terhadapnya, oleh karena itu ia selalu menghindarinya, padahal sang guru memiliki metode dan pengajaran tersendiri dalam mendidiknya. Anda bayangkan seorang murid tidak mendapatkan pendidikan dari gurunya hanya karena disebabkan oleh buruk sangka sang murid. Sungguh hal yang menyayangkan.

Kemudian apa perbedaan antara Menyendiri orang yang berburuk sangka dengan orang yang beruzlah?. jelas sekali berbeda, menyendiri karena berburuk sangka disebabkan takutnya kepada orang dan betujuan untuk menghindarinya, sedangkan menyendiri karena uzlah, disebabkan keinginannya untuk berada di tempat sepi dan bertujuan untuk menenangkan diri dan taqorrub (mendekatkan diri) kepada Allah Swt. yang kemudian bersama-sama kembali bersama khalayak dalam membangun citra kemanusiaan.

2 Taklid (mengikuti orang lain tanpa pengetahuan)

Salah satu sifat fikiran menurut hemat penulis adalah menyuarakan pendapat atau pengetahuan yang sudah dimilikinya, ketika seseorang menghambat atau memendam penyuaraan tersebut dan bahkan mengikuti pendapat orang lain padahal sebetulnya ia menolak pendapat tersebut, maka yang terjadi adalah penghimpitan pemikiran yang menyebabkan ia terbelenggu.

Banyak sekali orang yang mengalami satgnanitas diri disebabkan oleh hal tersebut di atas, baik dari kalangan masyarakat maupun mahasiswa. Gejala sederhananya dapat kita lihat dalam forum-forum diskusi ataupun dialog, tentu kita semua sepakat bahwa tujuan dan target dari forum-forum diskusi itu adalah kebaikan, tapi tidak sedikit peserta diskusi itu membeo terhadap pendapat-pendapat yang diutarakan oleh orang lain, mereka tidak mampu memberi tanggapan ataupun sanggahan terhadap permasalahan yang diangkat. Sebagai contoh, sebuah desa mengadakan diskusi yang berkenaan dengan masalah pertanian. Sebagian dari mereka ada yang aktif dalam menyuarakan pendapat, dan ada juga yang non aktif, dari yang non aktif tersebut barangkali ada yang memang tidak memiliki pendapat sama sekali dan ada pula yang yang mempunyai pendapat, tapi tidak menyuarakannya, padahal bisa jadi pendapatnya lebih baik dari pendapat-pendapat yang lain. Namun ia tetap saja pada pendiriannya untuk tidak bersuara.
Mengikuti dengan dengan tanpa pengetahuan Berbeda sekali dengan mengikuti yang diiringi dengan pengetahuan, yang pertama dapat menimbulkan stagnasi sebagaimana penulis jelaskan di atas dan yang ke dua dapat menyebabkan kemaslahatan bagi aplikator itu sendiri, dikarenakan ia bukan hanya berbuat akan tetapi juga mengetahui tumpuan dan landasan yang ia pakai untuk berpijak sehingga terbentuklah amalan yang dapat dipertanggungjawabkan.

3. Fanatik

Fanatik adalah menganggap suatu pendapat, pemikiran atau perbuatan tertentu paling benar sedang yang lain salah. Fanatik tersebut bisa jadi muncul dari dalam diri sendiri seperti anggapan akan apa-apa yang bersumber dari dirinya itulah yang paling benar sedang dari yang lainnya salah, dan juga yang muncul dari orang lain seperti anggapan apa yang bersumber dari si A lah yang benar sedang dari B, C, D atau dari selainnya itu salah. Hal tersebut juga dapat membelenggu fikiran, sebab selain tidak percaya pada sumbangan-sumbangan fikiran orang lain terhadapnya, juga tidak mau merekonstruksi hasil buah fikirannya sendiri ketika mendapatkan ide atau masukan yang lebih baik dari orang lain, hingga terbentuklah kemandekkan, dan juga dapat menyebabkan eksklusifisme diri, yang menutup rapat pintu kemajuan diri, baik dalam berfikir maupun bersikap.

4. Rasa Takut

Kita mungkin pernah mendengar cerita teman kita mengenai pengalamannya ketika melihat hantu, ia barangkali mengatakan pada kita, ia susah sekali berkata ataupun berteriak untuk meminta pertolongan orang lain, dan mungkin ia juga mengatakan yang terlintas dalam fikirannya dan secara reflek ia ikuti ketika itu tidak lebih dari sebuah kata yaitu ‘lari’. Atau kita juga pernah melihat seseorang yang takut, entah itu kepada preman, polisi atau tokoh masyarakat yang disegani, ketika mereka berbicara dengannya, ia hanya mendengar dan mengatakan kata iya dan tidak banyak merespon ataupun menyanggah apa yang mereka katakan, kendati perkataan mereka bertolak dengan apa yang ada dalam fikirannya. Hal ini merupakan contoh sederhana dari rasa takut yang dapat membelenggu dan menghimpit fikiran, serta mengikis rasa berani dalam diri.

5. Primordial

Gerak perbuatan seseorang menurut hemat saya dipengaruhi oleh paradigma (sudut pandang) yang ada di otak dan benaknya, kalau paradigma seseorang jelek terhadap orang lain, maka respon yang ia tunjukkan kepadanya tidak jauh dari respon tak sedap. Sebagai contoh, saya pernah diminta menghantarkan daun sereh kepada salah seorang pejabat, sebelum berangkat, saya banyak diberi statemen dan omong-omong yang menunjukkah sikap yang tak pernah baik sang pejabat kepada siapapun, bahkan pernah, respon tersebut mengena kepada salah satu teman satu rumah yang pernah menemuinya di kantor, saya betul-betul termakan dan memegang erat-erat statemen itu, otak saya dipenuhi dengan fikiran-fikiran yang tak enak terhadapnya, pendeknya pandangan saya terhadap pejabat tersebut jelek. Setelah sampai di pinggir rumahnya yang kebetulan berdekatan dengan sebuah Mesjid, saya menelfon pejabat itu, dan berbicara kepadanya dengan irama yang agak sedikit kasar, saya bilang bahwa saya tidak bisa datang ke rumahnya, dengan alasan saya tidak tahu di mana letak rumahnya, saya mau ketemu dengan dia di sebuah mesjid yang berdekatan dengan rumahnya. Ketika beliau datang, subhanallah ternyata beliau sopan, beliau mengucakan banyak terima kasih, beliau akrab mengobrol dengan saya, bahkan terlihat beliau menganggap saya sebagai anaknya sendiri, ketika beliau mendengar saya berkata bahwa saya tidak pernah tidak lulus, lantas beliau menyelamani tangan saya, dan memberikan informasi beberapa universitas, sebagai masukan untuk saya, karena saya berkata kepada beliau kalau saya hendak melanjutkan studi S2.

Nah, primordial (sikap tunduk menunduk) kepada orang lain pada hakikatnya disebabkan oleh paradigma yang terisi penuh dengan pandangan-pandangan yang terlalu meninggikan orang yang dianggap memiliki keutamaan. Saya faham, bahwa orang yang berprimordial sebetulnya berniat dan berkehendak untuk menghormati orang yang dianggapnya memiliki keutamaan, namun saya katakan bahwa itu bukanlah cara yang tepat untuk mewujudkan hal tersebut, yang ia lakukan justeru akan menyebabkan fikirannya terbelenggu, stagnan, vakum dan rigid. Menghormati orang lain cukup seperti apa yang diajarkan oleh Islam, yaitu dengan hal yang sewajarnya dan tidak berlebihan, seperti bersikap dan berkata sopan dan santun kepadanya.
Demikianlah belenggu-belenggu fikiran yang dapat menghambat penuangan hasil femikiran, yang harus senantiasa kita hindari, agar tercipta dalam fikiran kita kemurnian dalam menuang gagasan-gagasan yang membangun ummat.
Wallahu a’lam bishawab

No comments: